Dulu, sebagai anak wong tani, saya akrab dengan kegiatan ngiles dan nggebuk pari saat panen. Tentu saya hanya ikut-ikutan. Musim panen begitu, waktu saya habiskan di sawah. Nunggu orang dherep atau di rumah nunggu para tukang derep setor gabah.
Saya sering bantu ngitung upah mereka.
Upahnya bukan uang. Upahnya gabah yang biasa diosebut 'bawon'. Kami menggunakan rinjing untuk menghitung. Untuk padi, upahnya sekitar 1:7 atau kalau ketan 1:5. Satu keranjang padi untuk setiap 7 yang dipanen.
Tadi, saya ngobrol dengan petani di Jetis ini. Ngiles dan nggebuk sudah punah. Diganti ilesan manual atau yang pakai disel. Tetapi... Jauh di sana dan di sini. Waktu dulu dan sekarang. Tarif upah derep tidak banyak berubah rupanya.
"Rata-rata 1:7. Tetapi kadang ya diam-diam bisa 1:5." katanya sambil terus mengambil dan 'ngiles' gabah.
Saya tidak paham dengan kata diam-diam itu.
Maksudnya apa?
"Kalau dherep kan kadang nggak ditunggui sama yang punya sawah. Jadi ya dikirimkan saja hasil panennya segitu."
Saya mbatin, wah korupsi juga itu...
"Lha gimana, wong dherep ki rekoso je. Gelem sak mono, ra gelem yo kene ra butuh." lanjutnya seperti mendengar apa yang saya batin.
Ia sendiri dan istrinya memanen tanaman mereka sendiri. Sawah mereka sewa dari tanah kas desa. Katanya, desa mereka itu kaya. Sawahnya banyak. Saya hanya diam memikirkan apa yang baru saya dengar. Orang dulu sepertinya jujur jujur... Mungkin.
Posting Komentar