Hampir 20 tahun menjadi "orang kota", bekerja setiap hari dengan buku dan pena, kadang saya disadarkan betapa banyak kehilangan kata-kata akrab dari zaman di desa. Kalau kadang salah sebut kata, maklum saja.
Maka, tak jarang saya terkejut sendiri mendengar kata yang lama tak terpakai itu terdengar lagi. Ada momen wow, kangen, dan memori yang terasa mak nyep neng ati.
Contohnya, saat saya berhenti turun dari sepeda, minum di pinggir sawah, saya mendengar lagi kata ini dari dua petani perempuan yang hendak memulai pagi mereka. "Yu, jupuken kenthenge! Gek ndang budhal."
Kentheng! Dengan e berbunyi seperti dalam burger.
Di tempat asal saya, dan juga di sini ternyata, kentheng itu tali yang dua ujungnya diikat ke bambu atau kayu yang berfungsi untuk ditancapkan ke tanah. Digunakan untuk menggaris lurus, pemandu dalam menancapkan bibit padi.
Si mbokde yang disapa lalu turun ke sawah. Ternyata kentheng yang dimaksud ditinggal di pinggir galengan. Ia berjalan ke ujung, cabut kayunya, dan digulung. Bapak saya dulu, biasanya juga memotong kayu/bambu penggulung itu dengan panjang tertentu sebagai pathokan jarak antar baris padi.
Gunung Kelir, Pleret, Bantul
Posting Komentar