Tidak sengaja, saya menemukan sebuah pidato Bung Karno sebagai sambutan untuk Muktamar Muhammadiyah tahun 1962. Teman-teman Muhammadiyah suka mengutip pidato yang berjudul Regeneration dan rejuvenation itu sebagai salah satu bukti bahwa Bung Karno itu anggota Muhammadiyah. Ia mengatakan, "Tatkala umur 15 tahun, saja simpati kepada Kiai Achmad Dachlan, sehingga menginthil kepadanja, tahun '38 saja resmi mendjadi anggota Muhammadijah ..."
Saya sendiri lebih tertarik kepada pernyataan lain di pidato itu soal kemampuannya dalam bahasa Inggris. Kita tahu Bung Karno itu punya kemampuan bahasa Inggris yang lumayan. Meskipun pidato-pidato resmi kepresidenannya banyak ditulis oleh bule asli Skotlandia, Muriel Stuart Walker (dikenal sebagai Ktut Tantri); tetapi Bung Karno sendiri bisa berhasa Inggris dengan baik.
Padahal kita tahu bahwa kalau dari segi sekolahnya, bahasa asing utama yang ia pelajari dan gunakan sejak muda adalah Bahasa Belanda. Dari segi zaman dan generasi, Bahasa Belanda juga lebih lazim digunakan oleh elit Indonesia zaman kolonial. Jadi, dari mana beliau belajar bahasa Inggris?
Saya tidak tahu, tetapi dari pidato di Muktamar Muhammadiyah itu, belia menceritakan bahwa saat bertemu pertama kali dengan Kiai Ahmad Dahlan, beliau baru belajar Bahasa Inggris. Sekitar 4 tahun kemudian, ia sudah bisa sudah bisa Bahasa Inggris. Ia 'pamer' buku bacaannya, "The New World of Islam" dan "Rising Tide of Color" untuk dikutip dalam pidato itu.
Catat, empat tahun saja! Bung Karno bukan 'wali' yang mendadak bisa sembilan bahasa. Ia belajar, serius belajar, dan saya percaya ia belajar dengan sungguh-sungguh (di tengah segala kesibukan dan perjuangannya) untuk belajar bahasa asing kedua atau ketiga itu dalam hidupnya.
Saya kira, ini layak dicontoh! Jangan pernah berhenti belajar bahasa asing. Arab dan Inggris itu sudah wajib saja kalau bagi orang UIN, sunnahnya harus ada bahasa asing ketiga, keempat, dan seterusnya. Empat tahun satu bahasa? Nggak akan rugi!
Posting Komentar