Beberapa waktu yang lalu, saya membaca istilah "koreksi" digunakan ketika Muhammadiyah menerbitkan fatwa mengundurkan (menambah dari waktu semula) waktu salat Subuh. Saya juga baru membaca rangkuman buku dosen fakultas sebelah yang, lagi-lagi, katanya "mengoreksi" pendapat tentang hukum wajib salat Jumat.
Saya tidak akan mengomentari substansi fatwa Muhammadiyah atau fatwa dosen itu, tetapi penggunaan istilah 'koreksi'. Saya mencoba mengecek apakah istilah yang digunakan itu istilah media atau istilah 'resmi' dari Muhammadiyah. Saya cek di web Muhammadiyah, memang pilihan diksinya adalah 'mengoreksi.'
Istilah 'koreksi', menurut saya, kurang tepat digunakan dalam hal ijtihadi semacam ini. Sebab, seolah-olah fatwa atau ijtihad sebelumnya atau yang berbeda dinyatakan salah, sehingga perlu dikoreksi. Padahal menurut kaidah, al-ijtihad la yunqadu bi-mitslih (sebuah ijtihad, tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad semisalnya).
Umar bin Khattab, ketika diprotes karena mengambil keputusan hukum waris yang berbeda, untuk kasus yang sejenis, menjawab, "Tilka ala ma qadaina, wa hazhi ala ma naqdi". Artinya, keputusan yang telah diberikan dalam kasus pertama tidak menjadi 'salah" karena adanya keputusan yang berbeda dalam kasus kedua. Pembagian waris dalam kasus pertama tetap berlaku, tidak perlu dibagi ulang, tidak dibatalkan oleh keputusan dalam pembagian waris dalam kasus kedua.
Silakan tonton uraian singkat ahli Usul Fikih Irak, Abdul Karim Zidan ini di sini https://youtu.be/KegYGCT5sPc
Dalam kasus waktu salat subuh itu, Muhammadiyah mengoreksi siapa? Kalau menyangkut fatwa mereka sendiri, ya tidak perlu dikoreksi. Cukup dijelaskan saja pendapat barunya. Kalau pendapat yang sebelumnya dianggap salah, bagiamana dong nasib keabsahan salat yang sudah dilakukan selama ini?
Apalagi kalau 'koreksi' itu menyangkut pendapat yang berbeda dari Muhammadiyah, maka lebih tidak pas lagi. Dalam Fikih, biasa saja punya pendapat berbeda, tidak perlu merasa mengoreksi pendapat orang lain.
Posting Komentar