Albert Camus, sang filsuf, konon pernah berkata, "Youth, above all, is a collection of possibilities." Hal-hal yang tidak mungkin bagi orang tua, menjadi mungkin di tangan anak muda. Sebab, di matanya hanya ada kemungkinan. Dengan kata lain, kalau kita tidak lagi punya apa yang dulu kita punya, maka itu tandanya kita sudah tidak lagi muda.
Saya sering melihat diri saya dahulu melakukan hal-hal yang dalam ukuran saya sekarang, tidak mungkin saya lakukan. Tamat SMP (MTs), sepuluh lulusan terbaik laki-laki dari sekolah kami dikirim ke Surabaya untuk mengikuti tes MAPK di asrama haji. Sembilan dari sepuluh itu, datang ke Surabaya berombongan diantar salah satu guru kami. Saya pergi sendiri. Hanya karena saya punya Pak Dhe di Sidoarjo.
Saya belum pernah pergi sendiri sejauh itu. Saya hanya tahu Pak Dhe saya punya toko di Sidoarjo Plaza. Saya juga belum tahu di mana asrama hajinya. Saya bahkan tidak menghitung jarak bahwa Sidorajo-Surabaya itu jauh. Untuk ikut tes di pagi hari jam 8, perjalanan Sidorajo-Surabaya itu unpredictable. Kalau menurut saya hari ini, tinggal di asrama haji, seperti ratusan peserta lain adalah pilihan paling mungkin.
Sekian tahun kemudian, contoh lain. Saya beberapa kali ikut demonstrasi anak-anak SMID Solo. Demonstrasi kecil-kecilan saja, wong SMID juga nggak punya massa seperti HMI. Pernah juga ikut demo buruh. Jadi, walaupun organisasi yang saya ikuti PMII, tetapi kalau urusan yang begitu-begitu, saya ganti baju, ikut senior saya yang juga 'agen ganda'.
Berita itu didengar salah seorang dosen saya, sesepuh PMII di IAIN Surakarta. Beliau memanggil saya, menanyakan apakah betul saya ikut ini dan itu. Saya mengiyakan, tidak ada yang saya tutupi. Lalu, beliau memberi nasehat bijak. "Kamu perlu hati-hati. Kegiatan-kegiatanmu itu tidak disukai pemerintah. Kalau lulus, kamu nanti akan sulit menjadi pegawai negeri."
Untungnya bapak saya bukan pegawai negeri. Saya juga tidak pernah bermimpi jadi pegawai negeri. Apalagi kalau menjadi pegawai negeri harganya adalah menjadi anggota Golkar. Byuh. Pilih mulih nandur pari, angon wedus. Begitu respon batin saya. Saya hanya diam di hadapan beliau. Nasehat itu saya abaikan.
Pikiran-pikiran orang tua itu rumit. Mau menulis di Facebook saja mikir akibatnya baik atau tidak. Mau mengkritik saja mikir, apakah nanti menghalangimu naik pangkat atau tidak. Apakah nanti membuat aman karirmu tidak. Apakah nanti menghambat urusanmu atau tidak. Apalagi yang pikirannya cuma 'politis'. Kontroversi sedikit saja, banting setir mundur. Hal yang mungkin menjadi tidak mungkin. "An old man sees only impossibilities."
***
Burung emprit itu dua kali di dua lokasi masuk frame kamera saya. Dilihat dari bulunya, ia dan dua orang 'sudaranya' adalah emprit-emprit muda. Selagi emprit tua tahu persis risiko berdekatan dengan manusia, ia santai saja hinggap di padi yang berjarak hanya 2-3 meter di hadapan saya. Si anak muda itu belum kenal risiko. Ia belum ingin naik pangkat, dia tidak sedang mengumpulkan aset untuk menjabat, ia tidak peduli akses ke Jakarta, yang ia tahu: dunia ini penuh kemungkinan.
Maka, jika kamu ingin awet muda, jangan takut dengan bertambahnya usia. Pastikan saja bahwa di hadapanmu hanya ada possibilities. Kita akan mendadak tua kalau belum apa-apa sudah bilang 'tidak bisa'.
Posting Komentar