Kemarin saya bersepeda ke timur, menelusuri sawah, kemudian mendaki perbukitan selatan Piyungan. Tanpa rencana pasti, saya mencoba sebuah jalan cor baru yang menurut perkiraan ke arah Puncak Sosok. Sekitar 500 meter jalan, ternyata jalur itu berbelok ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Piyungan. Halah, balik ke sini juga batinku.
Saya tetap lanjut ngonthel, mengikuti jalan menembus TPA. Bau busuk menusuk segera tercium. Bahkan setelah saya keluar dari kawasan TPA, bau itu masih tercium di kampung-kampung sebelah selatan yang berjarak lumayan jauh. Saya sempat buka masker untuk memastikan bahwa bau itu memang masih ada dan bukan kaena nempel di masker saya.
Saya jadi mikir bagaimana orang-orang ini bisa hidup di lingkungan demikian? Saya yang cuma lewat hampir muntah tidak kuat. Pas terakhir lewat beberapa bulan lalu, seingatku baunya tidak separah hari ini. Ini luar biasa busuknya. Nggak kebayang bisa hidup di tengah bau seperti itu.
Tetapi saya segera teringat mudik lebaran kemarin. Sampai di rumah ibu saya, begitu membuka pintu mobil, bau busuk juga langsung menyengat hidung saya. Serius, busuk sekali. Saya tanya ke ibu dan beliau anteng-anteng saja merasa tidak mencium bau yang saya keluhkan. "Oh... paling bau kandang ayam," lanjut beliau.
Daerah saya memang salah satu penyumpang produksi telur terbesar di Jawa Timur. Ibu saya dulu (banget) juga pernah punya ayam sampai 10 ribu ekor (kalau nggak salah). Tetangga saya sampai sekarang masih ada yang punya ayam, ribuan juga, dan hanya di kandang belakang rumah. Maka, soal bau tai ayam, pada dasarnya saya dulu juga sudah terbiasa.
Nah, di situlah kata kuncinya: terbiasa.
Maka, begitu hari kedua, ketiga, di rumah Blitar, bau itu menghilang sendirinya. Pada saat saya kembali ke Jogja, saya sudah lupa kalau rumah saya itu bau tai kandang ayam. Lha, sudah terbiasa. Maka, begitu pula, mungkin orang-orang di sekitar TPA Piyungan. Terbiasa.
***
Di lingkungan politik, pemerintahan, atau di mana punbegitu juga kan? Prilaku korup yang terbiasa menjadi tidak tercium lagi bau busuknya. Sampai-sampai lembaga penegak hukum pun juga tidak kebal dari kejahatan korupsi. Korupsi itu kadang dilembagakan. Jika tidak bisa dapat uang dengan cara ilegal, ya justru dilegalkan saja. Bikin aturan-aturan aneh yang memungkinkan lembaga dan orangnya dapat uang, dan 'korupsi' menjadi legal.
Akademisi? Ada juga. Korupsinya macam-macam tentu, tidak harus dalam bentuk uang. Korupsi pengetahuan dengan plagiarisme, korupsi integritas demi mendapatkan jabatan, korupsi kejujuran demi memuja-muja atasan, akeh wis. Karena seringnya, perilaku korup itu dianggap biasa, menjadi tidak terasa.
Begitulah, tai dan kandang ayam itu cuma dua tiga hari saja tercium baunya. Selanjutnya terbiasa!
Posting Komentar