Salah satu keberatan yang sering kita dengar terkait Permendikbudristek adalah "legalisasi seks bebas". Saya akan coba bantu mendudukkan perkara biar tidak gelut.
Secara tradisional, dari belasan jenis seks di dunia ini, di Indonesia hanya ada dua kategori yang digunakan: seks nikah dan seks non-nikah. Dan seks-nikah adalah satu-satunya yang sah. Di luar itu? Semuanya tidak boleh, termasuk seks bebas atau yang di sini kita sebut "free sex" (besok saya akan tulis khusus soal "seks gratis" ini).
Nah, Permendikbudristek ditolak karena "melegalkan free sex". Koq bisa? Karena jawabannya bersumber dari dua kategori 'tradisional' tadi: hanya ada dua jenis seks: seks nikah dan seks luar nikah. Seks bebas itu pasti di luar nikah dan hukumnya pasti haram.
Padahal, Permednikbudristek sama sekali tidak menyebut seks bebas. Permendikbud berasal dari kategori lain yang sudah akrab di kalangan pegiat hak perempuan (sebut saja "feminis"). Dalam paradigma feminis, mirip dengan paradigma tradisional, belasan jenis seks juga hanya dikategorikan dalam dua jenis: seks konsensual dan seks non-konsensual.
Kalau kategori tradisional hanya mengakui seks nikah yang "sah"; inti kategori feminis adalah hanya seks konsensual yang "sah".
(Saya beri tanda kutip, karena "sah" menurut siapa itu bisa jadi satu bab skripsi sendiri)
Apa itu seks konsensual? Seks harus dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak!
Ada kaitan dengan seks bebas? Sekali lagi, lawan seks konsensual adalah seks non-konsensual! Saya akan bicara soal seks bebas itu pada saatnya. Jadi itu disimpan dulu di laci ya.
Nah, karena urusannya adalah setuju dan tidak setuju, maka persetujuan atau sebaliknya ketidak setujuan itu bisa terjadi di mana saja, bisa dalam seks nikah maupun seks non-nikah. Ini kalau Anda memaksa juga untuk membawa persoalan ini dalam "kategori tradisional'.
Dengan begitu, maka dikenal istilah "marital rape" alias "perkosaaan dalam rumah tangga." Suami memperkosa istri atau sebaliknya. Marital rape terjadi karena adanya seks non-konsensual antara suami dan istri.
Bagi para aktivis hak perempuan, paradigma seks konsensual inilah yang ada di benak mereka. Bagi mereka yang di luar, paradigma seks nikah yang digunakan. Perbedaan paradigma ini ibarat Joko Sembung bawa golok. Sudah sono, bacok-bacokan saja. Besok kita bicara seks bebas, biar tambah kenceng bacokannya.
Posting Komentar