Untuk mencuci pakaian di apartemen kami, seperti di banyak negara maju, kami menggunakan mesin cuci yang terpusat di sebuah ruangan. Ada sekitar 20an mesin cuci dan pengering yang tersedia. Cara bayarnya ada dua: menggunakan aplikasi terkoneksi bluetooth dan membayar dengan Paypal; atau menggunakan koin lewat box seperti box telepon umum tahun 90an. Masukkan koin ke dalam kontak, pencet nomor tujuan, yang dalam hal ini adalah nomor mesin yang kita pakai.
Pertama kali menggunakan di sini, saya harus belajar sendiri. Seperti yang saya ceritakan di bab “Harga Pengalaman”, belajar sendiri itu harus dibayar mahal. Berkali-kali saya bertemu masalah dengan dua sistem pembayaran itu dan saya kehilangan uang dan uang, mulai dari tidak ada kembalian di box pembayaran sampai koneksi internet terputus padahal sudah membayar. Bahkan tadi pagi pun saya masih harus kehilangan uang lagi: saya memasukkan baju ke mesin nomor tiga, yang ternyata mesin itu mati. Saya sudah masukkan koin di kotak, sudah pencet nomor tiga, dan zong, tidak terkoneksi ke mesin, uang hilang 8 NIS.
Tetapi, pengalaman-pengalaman mahal itu membawa pengetahuan. Salah satu pengalaman itu adalah ‘menabok’ box ketika ia tidak mau menelan koin yang kita masukkan. Saya mencoba tabokan itu juga dari pengalaman ‘kuno’ saat masih sering menggunakan telepon umum. Sering kali, mesin telepon umum tidak mau menelan dan memuntahkan kembali koinnya. Dulu, menabok box itu lumayan mujarab. Insting saja saya melakukan lagi pada box mesin cuci di apartemen. Betul, manjur juga ternyata. Saya pernah mengalami sekali di mesin pembayaran itu beberapa waktu yang lalu dan sejak saat itu saya ganti bayar pakai Paypal lewat aplikasi.
Nah, tadi, saya sedang mengambil baju saya dari mesin pengering. Berbarengan dengan saya ada dua mahasiswi yang coba membayar dengan koin. Dua mahasiswi ini salah sekian dari banyak mahasiswi Arab-Israel yang tinggal di apartemen. Saya tahu mereka orang Arab, tentu bukan dari hidungnya, tetapi dari dua hal: salah satu dari dua anak itu menggunakan jilbab, dan mereka berdua mengobrol dengan Bahasa Arab.
Mesin pengering saya kebetulan pas di sebelah box pembayaran. Saya melirik apa yang terjadi. Mereka coba memasukkan koin dan keluar lagi. Satu, dua, tiga jenis koin dimasukkan dan gagal. Saya pernah mengalami dan insting ‘heroik’ saya muncul. “Can I help you?” dan tanpa menunggu jawaban mereka, saya tabok mesin itu dengan yakin, “brak! brak brak!” Mereka kaget. Lalu saya bilang, “Now, try again!”
Wajah mereka tampak tidak percaya, “Why did you do that?” Saya tidak menjelaskan dan saya, “Just try it! It may help.” Betul, koin mereka masukkan lagi dan... “Yes, it works!!!” Tampak gembira wajah mereka. “So, should I do that before or after putting the coin?” Tanya salah satunya. “No rule! Just do it whenever the machine is not working.”
Lalu saya bilang kepada mereka, “You know, there is an old Arabic proverb to explain that...” Saya mencoba obrolan sambil mengubah sebuah pepatah Arab, “al-‘Aqil yakfi bil-isyarah... wal-jahil? bid-darbah! ” Si cewek yang tidak berjilbab bilang, “Yes, but this is a machine, not a jahil” katanya sambil senyum. Lalu saya jawab, “Yes, but, at least, it is not aqil either.”
Generasi internet tidak pernah bertemu telepon umum, tidak memiliki pengalaman nabok seperti generasi pra-internet. Jadi, insting untuk menabok mesin tidak ada pada mereka. Kita menabok mesin juga karena kita mewarisi sedikit gen generasi masa lalu yang menjadikan tabokan sebagai solusi segala hal. Bukan hanya mesin, guru pun dulu main tabok ketika gagal mengatur muridnya. Ya kan? (20/11/21).
Posting Komentar