Tanggal 13 Mei 2017, saya berbagi foto sedang bersepeda keliling Cordova, Spanyol. Komentar pertama saya dapatkan dari salah satu mahasiswi saya. "Ya Allah pak dosenku, asyiknya menjelajah di benua biru. Semoga saya bisa kesana. Someday..." Saya balas dengan "amin." Karena bagi saya, kalimat "semoga" itu menandakan doa.
Fast-forward, anak itu sekarang sudah tinggal di Eropa, menemani suaminya yang sedang melanjutkan studi di sana. Saya tahu, ia sekarang sudah bersepeda di benua biru itu hampir tiap hari. Tidak penting apakah ia sudah melupakan doanya itu atau amin saya. Sebab yang lebih penting adalah: jangan pernah menyepelekan doa.
Saya tidak ingin terdengar seperti ustad atau kiai. Saya juga tidak ingin menyederhanakan doa sebagai mantra sulap, ingin A dapat A, ingin B dapat B. Saya justru sepenuhnya sadar bahwa dalam hidup ini banyak hal yang kita tidak tahu akhirnya seperti apa.
Perjalanan hidup saya penuh kejutan bahkan bagi saya sendiri. Banyak yang tidak saya rencanakan. Tetapi yang saya syukuri, kejutan-kejutan itu tidak pernah mengecewakan. Kejutan itu selalu datang sebagai hal yang lebih membahagiakan dari yang saya inginkan.
Sekedar contoh, saya berdoa dan berusaha sampai tiga kali untuk lolos beasiswa Australia, AUSAID jaman itu. Gagal. Tetapi tiba-tiba ada kesempatan mengajukan beasiswa Fulbright. Sekali dan langsung diterima. Saya pernah berdoa dan berusaha daftar menjadi dosen di STAIN anu, dan anu, dan anu. Gagal semua. Kejutannya, saya diterima di UIN Sunan Kalijaga.
Kembali lagi ke tema doa tadi. Tetaplah berdoa. Syukur banget kalau doamu A, dapat A. Seperti mahasiswi saya yang kini di Belanda itu. Tetapi jangan khawatir, kalau doamu itu tidak terkabul A. Tunggu saja kejutannya, B, C, D apa pun. Lalu kita syukuri yang kita dapat. Toh, sisi lebih dan positif itu juga hanya cara pandang kita saja.
Terpenting, doa itu murah, gratis, tanpa cetak proposal. Untuk apa tidak percaya?
Posting Komentar