Dunia itu tidak pernah hitam putih, hanya foto yang begitu. Dunia politik, tambah lagi. Selain tidak bisa hitam putih, yang membo-membo juga banyak. Bukan hanya berwarna, politik itu bisa sampai buthek, isuk dhele, sore tempe. Maka kaidah demikian pula yang perlu dipegang ketika melihat persoalan konflik Israel-Palestina. Ketemu orang yang membenci Israel, sudah sering. Di Indonesia juga banyak.
Jumat kemarin, saya bertemu suara yang berbeda itu, pada akhirnya. Setelah istirahat kira-kira satu jam usai salat Jumat, saya berencana pulang makan siang. Saya keluar dan mengambil sepatu saya di rak yang ada di pintu pojok utara-timur. Ada beberapa kursi kecil di situ dan saya hendak memakai sepatu ketika seseorang mendekati saya. Kami bersapa akrab, mengobrol panjang lebar soal berbagai topik.
Saya bahkan diberi makan siang dan diajak bergabung dengan teman-teman rombongannya dari sebuah kota kecil di West Bank. Di dalam masjid, selain makan siang yang tadi diberikan saya, rombongan ini juga membawa snack dan memasak air dengan kompor portabel untuk bikin kopi panas.
Dari banyak topik yang kami bahas siang itu, hampir satu jam, salah satu yang saya catat adalah: sedikit pujian untuk Israel. West Bank ini dulu dijajah oleh Israel dan sekarang secara administrasi dikelola oleh PA (Palestinian Authority). Ia menggunakan analogi 'aman' untuk mengatakan hal itu.
"Saya punya teman orang Yaman," katanya, "Orangnya sudah tua. Ia pernah merasakan bagaimana dulu rasanya dijajah Inggris. Ia bilang, dulu kami bisa kerja, makan, sekolah. Inggris menjajah, tetapi menjalankan pemerintahan yang melayani rakyat. Tetapi kini? Pemerintah bangsa sendiri, makan saja kami susah."
Begitu ia menceritakan Yaman sebelum ia bercerita kondisi West Bank. Ketika Israel mengelola West Bank, mereka mengurus sekolah, rumah sakit, fasilitas umum. Begitu sekarang dikelola oleh orang Palestina, penyakit kekuasaan di mana-mana sama: korupsi.
Anda jangan salah paham. Saya tidak sedang membela Israel, karena saya yakin penjajahan di mana pun dan kapan pun tidak boleh dibiarkan. Saya juga tidak ingin mengatakan otoritas Palestina buruk, karena pasti ada juga elemen yang baik.
Saya hanya ingin kembali ke pernyataan di awal, dalam politik, sebaiknya kita sangat berhati-hati dan membuang jauh-jauh kacamata hitam putih. Apalagi untuk urusan politik serumit Israel-Palestina. Pandangan teman baru saya ini, tentu tidak mewakili seluruh Palestina. Mereka tetap bermacam warna.
Sehabis menikmati kopi Torabika (serius, kopinya ternyata Torabika) yang diracik dengan rempah khas Palestina, kami berpisah. Berbagai salam untuk bertemu lagi, kapan-kapan.
Posting Komentar