Malam tahun baru, Yerusalem adem-adem saja. Perjalanan Bus dari French Hill ke Kota Tua juga berjalan lancar dan cepat karena jalanan yang lengang. Turun di terminal bus Palestina, saya menelusuri pertokoan di sekitar Damascus Gate yang ramai normal. Restoran, toko buah, dan toko sayur masih buka. Penjual makanan pinggir jalan menebarkan bau harum berbagai jenis aroma, mulai dari jagung bakar sampai “sate” Yerusalem.
Terminal HaNevi’im tampak sepi. Saya hanya bisa duduk menunggu bus 232 untuk berangkat karena gerimis mulai mengguyur. Tak lama saya menunggu, seseorang membuka pintu bus dan menyalakan mesin. Belum jadwalnya, tetapi sepertinya bus sudah mau berangkat. Saya segera menyusul naik dan menanyakan apakah bus sudah mau berangkat. Si sopir mengiyakan dan menanyakan ke mana tujuan saya. Saya penumpang pertama dan satu-satunya. Setelah 3 atau 4 stop, baru ada satu penumpang lagi. Sepanjang perjalanan hanya sepi yang terlihat. Kendaraan pribadi masih terlihat lalu lalang, tetapi tidak ada tanda-tanda perayaan malam tahun baru.
Ada dua penjelasan yang
bisa saya berikan mengapa jalanan juga lengang malam ini. Pertama, ini malam
Sabtu, alias malam Shabbat. Yerusalem adalah ‘kota santri’, lebih religius
dibandingkan Tel Aviv. Hanya belahan kota di sisi timur, yang mayoritas
penduduknya orang Arab yang masih hidup, seperti bus Arab yang saya naiki ini. Semua
toko, restoran, dan bisnis lain tutup karena kalau buka mereka akan mendapatkan
disinsentif pajak.
Kedua, jangan lupa, tahun baru yang kita rayakan adalah tahun Masehi. Lha “Masehi” itu siapa bagi orang Yahudi? Sebagai tahun Kristen, masyarakat Israel tidak memiliki koneksi kultural dengan tahun ini. Meskipun tahun Masehi digunakan, tetapi orang Yahudi dan Israel memiliki sistem kalender sendiri yang juga digunakan.
Jadi, mereka merayakan tahun baru juga sebenarnya, yang disebut Rosh Hashanah. Bagaimana perayaannya? Dengan pesta musik dan kembang api seperti perayaan tahun baru Masehi di berbagai kota di dunia? Tidak. Ini kabar baik untuk teman-teman yang mengkritik perayaan tahun baru di Indonesia. Cara orang Yahudi merayakan Rosh Hashanah adalah persis seperti yang diinginkan "orang-orang saleh" di Indonesia. Malam tahun baru bagi mereka adalah malam renungan:
Unlike modern
New Year’s celebrations, which are often raucous parties, Rosh Hashanah is a
subdued and contemplative holiday. Because Jewish texts differ on the
festival’s length, Rosh Hashanah is observed for a single day by some
denominations and for two days by others. Work is prohibited, and religious
Jews spend much of the holiday attending synagogue [history.com].
Pada hari Rosh Hashanah, diharamkan bagi mereka untuk bekerja. Orang
Yahudi yang taat mengisi hari itu dengan pergi ke Sinagoga untuk beribadah, membaca
teks-teks sakral dan suci, semacam salawat dan istighasah, yang
dipimpin oleh para rabbi. Nah, salah satu ritual Rosh Hashanah adalah
meniup terompet, yang disebut shofar. Terompet yang terbuat dari tanduk
kambing ini dalam agama mereka berfungsi sebagai semacam takbir dalam
Islam, suara simbolik untuk syahadat bahwa “Tuhan adalah raja kami.”
Selesai beribadah, mereka pulang ke rumah masing-masing. Acara hari itu
dilanjutkan dengan makan-makan. Mirip dengan cara kita merayakan Idul Fitri. Rosh
Hashanah tahun ini jatuh pada tanggal 27 September 2021. Saya belum sampai
di sini waktu itu. Sementara tahun depan, jatuh pada tanggal 29 September 2022.
Saya mungkin sudah pulang ke Indonesia. Sayang sekali, saya tidak bisa menyaksikan tradisi
Rosh Hashanah ini.
Posting Komentar