Tadi, saya menemukan adegan menarik di serial Shtisel, yang tayang di Netflix. Ada scene Shulem yang tampak kaget saat cucunya mampir dengan menggendong seekor anjing. Bahasa tubuh dan raut muka Shulem di film itu, menurut saya, koq mirip dengan saya dulu ketika ketemu anjing. Fikih Syafi’i membuat kita menghindari anjing sejauh-jauhnya. Bukan soal galaknya, tetapi najisnya. Akan report sekali kalau sampai kita terkena najis yang berasal dari bulunya yang basah atau, apalagi, air liurnya.
Njingkat kaget, sambil mundur mengambil jarak, Shulem bertanya, “He... kamu bawa apa itu!” Demi melihat cucu yang seharusnya di “pesantren”, Shulem kaget, “Kenapa kamu di sini, tidak di pondok?” Cucunya menjawab bahwa ia baru saja diusir dari pondok. Ia bilang menemukan anjing itu di luar pondok kehujanan. Karena kasihan, anjing itu ia ambil, ia selamatkan dan ia bawa ke kamarnya. “Tetapi teman saya sekamar juga senang dengan anjing ini. Ada orang lain yang sirik dan melaporkan ke pengurus. Maka saya diusir.”
Sambil menenangkan diri, Shulem menjawab, “Ya, sekarang aku paham kenapa kamu diusir dari pondok. Apakah kamu tidak tahu ada pepatah Yahudi (Yiddish) mengatakan, ‘Kalau ada orang Yahudi membawa anjing, kemungkinan hanya dua: pertama, ia mungkin bukan orang Yahudi; atau, kedua, makhluk itu bukan anjing.”
Heran banget, saya cek Google. Dari informasi yang saya baca, sebenarnya tidak ada larangan memelihara anjing dalam Yahudi. Tetapi, mirip dengan Islam, ajaran-ajaran dalam agama Yahudi memang memandang negatif kepada anjing. Saya tidak tahu soal hukum najisnya, tetapi di film itu Shulem jelas mengatakan anjing itu “impure animal”.
Meskipun memandang negatif, sama seperti Islam, agama Yahudi juga menganjurkan untuk menyayangi anjing. Di Islam, kita tahu ada Hadits yang mengisahkan pelacur bisa masuk surga gara-gara menolong anjing yang hampir mati kehausan. Di Yahudi, ada ajaran yang mengatakan bahwa kalau ada makanan, maka wajib bagi orang Yahudi untuk mendahulukan memberi makan anjing sebelum pemiliknya.
Posting Komentar