Pengkaji Fikih pasti akrab dengan konsep ihya’ al-mawat, yang di Fikih lebih didefinisikan sebagai usaha untuk mengelola lahan yang terbengkalai. Dalam kajian Fikih, “nada” pembicaraannya adalah persoalan hak milik. Sederhananya, “barangsiapa mengelola, ia punya hak milik atas tanah itu.” Maka, diskusinya menjadi soal apa “bukti” mengelola itu, ada yang berpendapat diberi bangunan, ada yang mengharuskan usaha produktif, ada yang hanya memberi pagar.
Nah, karena diskusinya mengarah kepada hak, saya melihat kecenderungannya adalah kecenderungan eksploitatif. Saya menemukan pelajaran lain dari kasus Ein Gedi kemarin.
Ein gedi yang saya kunjungi kemarin adalah air mancur setinggi hampir 30
meter. Mengalir deras dan menghijaukan lembah di tengah gurun pasir di tepi
barat Laut Mati. Hari ini kita bisa menikmatinya sebagai tempat rekreasi dan
olahraga. Tetapi mata air dan air terjun ini pernah mati sebelumnya, mengering
sejak tahun 1950an.
Lalu, tahun 2003, Israel menerbitkan undang-undang yang menjamin hak
alam atas mata air. Menarik? Ya, kita sering menempatkan secara tak terpisah
antara “alam” dan “sumber daya alam.” Karena keduanya kita satukan, perspektif
kita ya eksploitatif. Mana ada kita bicara hak alam atas sumber dayanya?
Sejak diberlakukan undang-undang itu, perlahan namun pasti Ein Gedi hidup kembali. Airnya sekarang sudah berlimpah dan dibagi dengan baik antara untuk kepentingan pabrik air mineral dan kepentingan di sekitarnya. Nah, di sekitarnya itu termasuk sungai, hewan-hewan yang hidup di cagar alam Ein Gedi, dan kebun kurma di bawahnya. Undang-undang itu, menurut saya, menawarkan makna baru “ihya’ al-mawat”, dari makna kepemilikan eksklusif-eksploitatif, menjadi konservatif-kolektif.
Posting Komentar