Hebrew
University of Jerusalem, tempat saya ‘mosdok’ sekarang, punya satu set gamelan
lengkap, demikian juga wayang kulitnya. Saat pertama kali datang, saya langsung
mendapatkan informasi ini dan ditanya apakah saya bisa main gamelan? Duh.
Saya penggemar wayang kulit. Lima tahun di Solo, saya kenyang
mendengarkan wayang kulit di radio. Dulu, entah tahun berapa persisnya saya
lupa, juga ada pentas 1000 dalang (jumlah persisnya tentu tidak seribu) di
Keraton Solo. Tiap malam, mungkin lebih dari empat puluh hari berturut-turut,
puluhan dalang bergiliran manggung di depan selatan alun-alun itu. Tentu saya
puas-puaskan nonton wayang kulit. Tetapi untuk main gamelan, opo meneh ndalang,
nggak, sama sekali nggak bisa.
Saya baca kemarin Kiai Ulil Absor Abdalla cerita, ia iri sekali dengan
orang yang main gitar. Ia pingin bisa main tetapi dulu gitar adalah barang
haram bagi santri seperti dirinya. Saya mengamini pengalaman itu. Seingat saya,
sewaktu saya kecil dulu, wayang orang atau wayang kulit itu dikesankan sebagai
seni kaum abangan. Seni kami ya Qasidah atau gambus. Hadrah atau Rebana. Gamelan?
Sejauh yang saya tahu di daerah saya dulu, tidak ada pesantren mengajarkan main
gamelan.
Maka, ini paradoks sebenarnya. Selagi kita diajari bahwa gamelan itu
karya para wali, kalangan santri (sekali lagi santri di tempat saya, Blitar)
sama sekali tidak akrab dengan seni ini. Saya tidak bisa menjelaskan dengan
baik kepada kolega saya di Israel bagaimana ironi semacam itu bisa terjadi.
Asal-usulnya bagaimana saya tidak tahu.
Ah, tentu saja bukan karena Khalid Basalamah! Soal gambar haram, mendengarkan
musik haram, pacaran haram, bukan monopoli Wahabi. Guru ngaji Sulam Taufiq
di pondok saya dulu juga mendawuhkan itu. Cuma, ya kita tahu dari dulu,
haramnya barang-barang ini bukan “haram” setingkat babi. Jadi, haram yang mungkin
nggak dosa-dosa amat, haram yang berakibat hati kita tumpul, hafalan Quran kita
hilang begitu, kesalehan kita luntur.
Maka, santai sajalah menghadapi Om Khalid itu. Orang NU juga ada yang
begitu. Basalamah (berdamai) saja
kita.
Posting Komentar