Dalam studi disabilitas, kita sering menyebut bias normal sebagai salah satu masalah di ruang-ruang publik. Bias normal itu sederhananya adalah membuat dan melaksanakan kebijakan dengan mengabaikan keragaman. Misalnya, ketika membuat sebuah bangunan, dibuat bangunan dengan struktur tinggi yang untuk mengaksesnya dibuat undakan seperti naik ke makam Imogiri. Pertimbangannya mungkin estetik, tampak indah dan gagah. Tetapi struktur semacam itu lupa bahwa tidak semua manusia bisa mengakses undakan.
Demikian juga dosen ketika mengajar. Ia membuat media belajar berupa power point dengan berbagai gambar dan grafik yang indah. Kadang dosen begini lupa bahwa di kelasnya ada tunanetra. Sebagus apa pun desain grafis yang ia buat, media itu tidak bisa diakses oleh tunanetra.
Nah, sekarang mari kita ke ruang-ruang kelas kita. Jika mahasiswa di kampus Anda seperti di UIN Sapen, diberi kursi dengan sandaran menulis di sisi kanan, maka di situlah Anda ketemu bias normal itu. Saya belum pernah menemukan kursi dengan papan tulis di sebelah kiri di kampus saya di Sapen. Di kelas saya di Yerusalem, saya lihat beberapa kursi didesain untuk para kidal (lihat gambar). Menurut riset, 12% orang di dunia ini kidal. Artinya, kalau ada 50 kursi di kelas, minimal perlu ada 6 kursi kidal.
Mewaspadai "bias normal" itu juga penting untuk kebijakan di luar isu disabilitas. Sebab normalitas itu kadang bukan soal disabilitas, tetapi juga lokasi, budaya, bahasa, agama, dst. Aturan tentang TOA, misalnya, kira-kira "bias normal" apa yang menghasilkannya? Kelas wajib online, misalnya lagi. Apakah aturan begitu sudah menimbangkan daerah-daerah di luar Jakarta?
Posting Komentar