Kemarin saya ikut "ngaji" Sastra Jawa yang diampu oleh Pak Yai Willem van Der Molen. Jujur, baru kali ini secara akademik saya ngaji sastra Jawa dan beruntung bisa belajar langsung dari ahli sekaliber Pak Willem. Sesi ini diselenggarakan di kampus dan berbeda dengan baca text Jawa Kuno yang diselenggarakan di kediamannya. Ngaji sastra Jawa di kampus ini lebih ke pengantar akademik tentang sejarah sastra Jawa dari abad ke-8.
Salah satu poin penting yang saya dapatkan dari seri pertama kemarin adalah kesadaran diri, semacam hidayah, perspektif baru yang selama ini tidak pernah saya miliki. Kalau kemarin saya menyebut istilah "bias normal", sebut saja perspektif lama saya sebagai "bias Muslim" dalam melihat teks-teks Jawa Kuno.
Perubahan perspektif lama ke baru ini adalah dari memperlakukan teks Jawa Kuno itu dari semata karya sastra menjadi "teks religius". Dari posisinya yang sekuler setara novel menjadi bacaan religi penyejuk hati. Dari menempatkan Ramayana sebagai cerita rakyat menjadi bacaan setara Manaqib dan Barzanji. Begini asal mula ceritanya.
Saya mengenal Ramayana dan Mahabarata pertama-tama dari teks sekuler, Majalah Trubus. Seperti saya ceritakan kemarin, ada dua rubrik yang berdampingan di majalah itu, cerita rakyat dan cerita wayang. Saya mengkonsumsi teks yang sudah digubah dalam bahasa Indonesia itu sebagai teks profan, sekuler, tak memiliki makna religius sama sekali.
Kedua, dari sudut pelajaran perbandingan agama, saya mengenal agama tetangga kita, yang sebenarnya juga agama nenek moyang kita orang Jawa, sebatas dari buku-buku pelajaran sekolah yang biasanya membandingkan antar agama demikian: kitab suci Islam, al-Qur'an. Kitab suci orang Hindu adalah Weda. Sementara orang Budha, Tripitaka.
Bias dari pengetahuan "picik" itu adalah, tidak tebersit sedikit pun dalam benak saya bahwa teks-teks keagamaan mereka melampaui apa yang disebut dalam pelajaran itu sebagai kitab suci Weda dan Tripitaka.
Dalam diskusi pendalam materi kemarin, yang kebetulan menyinggung manuskrip tua Ramayana dari kawasan Merapi-Merbabu, saya baru menyadari bahwa manuskrip-manuskrip itu dibaca dalam konteks religi, boleh jadi di "pesantren"nya orang Jawa-Hindu atau dibaca untuk asupan rohani sore hari.
Dengan pemahaman baru ini, membaca kisah perjalanan Rama atau Anoman Obong bagi mereka dulu tidak jauh berbeda dengan kita membaca kisah Nabi Yusuf atau Nabi Ibrahim di dalam Al-Qur'an. Atau, kalau pun Anda tidak terima, sama dengan membaca Barzanji dan Manaqib Syeh Abdul Qadir Jailani. Dengan demikian, pola kebutuhan spiritual kita itu sebenarnya tidak berbeda.
Posting Komentar