Sewaktu kuliah di Amerika dulu, saya pernah diminta pindah agama oleh teman sekelas dari Seoul. Pegawai kementerian pertahanan Korea itu seorang Kristen yang taat. Di Akhir kuliah, ia bahkan menghadiahi saya dengan sebuah buku kecil tentang kebenaran Kristen dan berharap saya bisa berubah setelah membacanya.
Seminggu yang lalu, setelah perkenalan dan obrolan sepanjang jalan di acara hiking yang dikoordinir kampus, seorang teman dari China pingin ngobrol banyak lagi. "I really want to know about Indonesia," katanya sambil minta nomor telepon dan berjanji untuk ketemu lagi.
Saya memilih ngobrol di rumah kontrakannya di belakang kampus. Ia mahasiswa dari China, lulusan sebuah fakultas Chinese medicine, dan di sini ia khusu belajar Ibrani. Ia ambil kursus mahal (6000 dolar) per tahun untuk belajar bahasa Perjanjian Lama itu, kitab suci agama yang kini ia peluk. "Kamu mau jadi pendeta?" Ia tidak yakin, "Ya, mungkin. Ada sih pikiran begitu, tetapi belum pasti."
Kami lalu bertukar tanya jawab soal agama. Banyak hal yang kami singgung, khususnya pengalaman pribadi kami masing-masing. Saya tentu saja menggali pengalamannya sebagai "convert". Ia orang pertama di keluarganya yang "beragama". Sebaliknya ia juga banyak bertanya tentang Islam. Beda dengan teman Korea yang minta saya pindah agama, ia bertanya saja, "Sebagai orang Islam sejak lahir, nggak kepikiran ingin pindah agama?"
Saya berikan jawaban panjang. tetapi saya ringkas begini. Pertama, pertanyaan kita sebagai manusia adalah, “Apakah kita percaya ada Tuhan yang menciptakan alam semesta ini?” Setelah diskusi, kami punya kesimpulan yang sama, ateisme itu tidak masuk akal. Semesta ini terlalu rumit untuk lahir dari kebetulan. Alam pasti diciptakan.
Kedua, untuk menjawab siapa penciptanya, tidak ada jalan kecuali "berspekulasi". Ya, sama seperti ateisme juga berspekulasi bahwa kita ada karena kebetulan evolusi semesta. Kita juga awalnya berspekulasi tentang Tuhan. Nabi Ibrahim, bapak tiga agama, berspekulasi tentang Tuhan itu adalah bintang, bulan, dan matahari. Spekulasi yang akhirnya ia koreksi, koreksi, dan koreksi sampai kepada titik yang meyakinkan bahwa Tuhan tidak seperti semua yang bisa kita saksikan di semesta ini.
Jika spekulasi Ibrahim berakhir dengan wahyu, dengan bukti nyata bahwa Tuhan bisa menghidupkan yang mati, kita mengakhiri spekulasi itu dengan percaya kepada Nabi.
Ketiga, karena basisnya "cuma" percaya kepada Nabi, maka menjadi tidak penting lagi untuk berspekulasi pindah agama. Apa pun agamanya, ujungnya hanya "iman" yang menentukan, dan ini tak terukur untuk dibandingkan.
Saya bilang kepada teman saya itu, “Kita sudah di titik yang sama, percaya kepada Tuhan. Lalu di bawah itu, spekulasi yang kita akhiri dengan sikap percaya.” Mengubah kepercayaan dari satu agama ke agama lain, menurut saya tidak banyak berguna.
Nah, keempat, yang lebih penting daripada itu, bagaimana menjadi pemeluk yang baik di agama kita masing-masing. Menjadi pemeluk yang baik menurut saya jauh lebih bisa diukur dan bermanfaat daripada mencari agama yang lebih benar. Sebuah agama yang paling benar sekalipun akan tampak buruk, menjadi agama yang salah, karena perilaku pemeluknya yang tidak baik.
Makasih pencerahannya....sebuah frame yang sangat bagus untuk menjelaskan tentang "Moderasi Beragama" .
BalasHapusPosting Komentar