Bagi kebanyakan kita, khususnya yang berlatar belakang lingkungan santri, anjing adalah hewan yang paling kita "takuti."
Pertama, entah Anda, tetapi waktu kecil dulu saya sering menyaksikan kekejian tetangga saya terhadap anjing liar. Di belakang rumahnya terdapat jebakan khusus anjing. Jika anjing itu terjebak di malam hari, paginya dibakar. Ngeri. Anjing itu seolah makhluk buas sekali, harus dibunuh.
Kedua, karena najisnya. Setiap ngaji Fikih, najis paling menakutkan adalah najis liur anjing yang diperluas ke seluruh tubuhnya kalau basah.
Sudah agak lama saya mencoba mendidik diri untuk berubah setelah mengenal banyak teman (non-Muslim) yang memelihara anjing. Saya mencoba tidak lagi takut, sok akrab dengan anjing, dan memilih mazhab paling ringan dan mudah terkait definisi najis dan cara mensucikannya.
Pas diundang ke rumah teman yang Yahudi itu misalnya, tentu saja saya harus kenalan dengan anjingnya. Anjingnya galak. Saya lihat sendiri, waktu ada tamu baru datang, ia bisa mencium kedatangannya dan segera menggongong bahkan sebelum si tamu pencet bel.
Jadi, waktu masuk rumahnya, saya tak bisa menghindari untuk "kenalan." Tuan rumah kasih saya makanan anjing sebesar kacang goreng agar saya bisa dikenal baik oleh anjingnya. Ketika makanan itu saya ulurkan, tak terhindarkan lagi jilatannya.
Itu bukan pertama kali saya alami dan saya mencukupkan diri dengan mencuci tangan saya dengan sabun. Celana juga saya cuci secara normal seperti yang lain. "Tujuh kali" itu artinya bukan "tujuh" harfiyah tujuh kali, tetapi "sebersih mungkin" seperti arti kedua kata sab' yang dalam Bahasa Arab juga berarti "banyak".
Saya pilih fatwa yang berpendapat sabun dapat menggantikan debu. Tidak perlu sabun khusus berdebu. Agama itu harus mudah. Apalagi sudah ada ulama yang berijtihad dan kita tinggal ambil pendapatnya. Begitu.
Posting Komentar