Saya sedang duduk melantai di salah satu sudut halaman Dome of the Rock sehabis Jumatan tadi. Saya ingin menikmati sepuasnya keindahan "kubah emas" sebelum pulang ke Indonesia.
Sedemikian khusuknya menikmati pemandangan kubah, saya sampai kaget ketika tiba-tiba ada suara perempuan menyapa, "Brother, do you mind if I sit and pray here?" Ia mendekati dan duduk di semacam "gasebo" kecil di pojok, sekitar dua meter dari tempat saya nglesot.
"No. As long as you don't mind I sit here." Jawab saya sambil setengah ketawa. Maksud saya, kalau dia mau salat di situ, kan saya yang jadi nggak enak duduk-duduk di depannya.
Setahun saya tongkrongan di Masjidil Aqsa, belum pernah saya disapa perempuan. Maka, saya malah jadi penasaran dengan perempuan ini. Apalagi ia menyapa dengan bahasa Inggris yang tak terdengar native begitu. "Where are you from?"
Ia menjawab, "Turkey! And you?" Setelah saya jawab Indonesia, ia malah berbinar bersemangat melanjutkan percakapan. "I visited Lombok two years ago, just before the pandemic."
Ia ceritakan pengalamannya "mengembara" di Asia Tenggara. "Compared to Malaysians, Singaporeans, Indonesians are the best people I met."
Saya sendiri tidak pernah berpikir orang Indonesia lebih baik daripada yang lain. Tetapi saya ucapkan terima kasih juga atas sanjungan itu. Bagi saya, di mana saja, orang baik dan tidak baik itu bisa dijumpai. Kalau kita baik, umumnya ya kita bertemu orang baik. Rumusnya sesederhana itu.
Contohnya ya sore tadi. Hahaha. Niat baik saya berbalas keakraban dari "bu guru" yang ternyata berasal dari Jerman ini. Dia bilang Turki itu ternyata "etnisnya".
"So, you are like Mesut Ozil." kata saya. "Yes, we have 5 million 'Ozil' in Germany," jawabnya sambil ketawa. Maksudnya, ada 5 juta orang Jerman beretnis Turki. Mereka bukan imigran lagi, Jerman asli, generasi ketiga. Ini menjadi salah satu topik panjang obrolan kami sore tadi.
Ngobrol berkelanjutan, ia batal salat di tempat itu. Ia dengan senang hati bercerita pengalamannya di Lombok, alasannya mengapa ke sana, pengalamannya mengajar dan tinggal di China selama dua tahun, dan lain-lainnya. Sebaliknya, ia juga banyak bertanya tentang kegiatan riset saya di Israel.
Nah, tak terasa, azan Asar sudah memanggil. Saya pamitan dan mempersilakannya untuk melanjutkan niat salat di tempat itu. "Let me know if you want to visit Germany," pesannya. Tadi kami sudah bertukar kontak.
"Sure. Some day, some how, insyallah" Jawab saya. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Dunia ini, kata saya, cuma sehasta, siapa tahu kelak berjumpa.
Posting Komentar