Turun dari mimbar khutbah di Masjid Mardiyah, UGM, saya dan sang imam Jumat diminta mampir ke "ruang kontrol." Ya, begitu mereka menyebut ruang transit yang sekaligus menjadi ruang kendali audio masjid dan CCTV-nya. Kami berkenalan. Sang imam ternyata mahasiswa UIN, santri Krapyak.
Saat di ruang itu, salah satu takmir meminta izin untuk membuat pengumuman lewat pengeras suara. "Assalamu'alaikum Wr. Wb. Hadirin jamaah Jumat, mohon perhatian, telah ditemukan sejumlah uang dalam amplop putih. Bagi yang merasa kehilangan, silakan menghubungi takmir masjid..." Kurang lebih demikian isi pengumumannya.
Uang itu ditemukan oleh seorang jamaah yang baik hati tadi malam, sekitar waktu Isya. Jadi, kemungkinan si pemiliki mendengar pengumuman dan lapor ke takmir sebenarnya tidak cukup besar. Tetapi, tak lama kemudian, pintu diketuk. Seorang lelaki kurus, berkulit gelap, dengan gurat-gurat wajah 60 tahunan diantar salah satu pegawai kemanan masjid.
Saya segera pindah kursi dan mempersilakan si bapak untuk duduk. Saya mengambil inisitif untuk bertanya dalam bahasa Jawa, "Dadhos, njenengan ingkang kecalan artha Pak. Kapan lhe ical?"
"Jujur mawon kulo mboten keraos, mboten ngertos kapan lan teng pundhi icalipun. Pas wau enten pengumuman, kulo nembe salat sunat. Bibar salat kulo nembe sadar menawi kelangan arta. Wong sak imut kulo, artane kulo amplopi terus kulo lebetke teng sak celana-dalam."
Jadi, sudah lebih dari dua puluh jam uang itu hilang dan si bapak tidak merasa kehilangan. Sambil menunggu mas takmir mendownlod video CCTV, saya bertanya lagi tentang sosok bapak ini. Asalnya dari Karanganyar, Solo. Di Jogja sedang menunggui istrinya yang opname di RS Sardjito.
Sewaktu saya tanya, mengapa tidak ke Dr. Muwardi, beliau mengatakan tidak ada kamar dan harus nunggu empat hari. Padahal, penyakit istrinya tak bisa menunggu. Ia terpaksa setuju untuk dirujuk ke Jogja. Ia tidak mengatakan apa pun tentang uang itu, tetapi saya bisa menduga, itulah satu-satu yang yang ia bawa. Ia bukan tipe kelas ekonomi yang dompetnya tipis berisi kartu debit dan kredit.
Setelah terverifikasi lewat video CCTV bahwa bapak ini adalah yang kehilangan uang, mas takmir pun menyerahkan uang dalam amplop putih itu. Jumlahnya lumayan, tiga juta rupiah terdiri atas uang pecahan 50 dan 100 ribu. Beliau mengatakan, jumlahnya tiga juta.
"Silakan pak, uangnya dihitung." Kata mas takmir sambil menyerahkan kembali uang si bapak.
Saya perhatikan, matanya berbinar sembab bahagia. Ia hitung uang itu, "Leres niki, utuh, artha kulo." Ia kemudian tampak menghitung lagi dan mengambil beberapa lembar ratusan ribu. Lalu beliau bilang, "Niki kagem mesjid," katanya sambil menaruh uang di meja, tepat di depan saya.
Saya, mas imam, dan mas takmir saling tatap. Kami sepertinya sepakat dalam diam untuk menolak uang itu. "Bapak, silakan uangnya diambil lagi. Bapak lebih membutuhkan daripada masjid," kata mas takmir.
Si bapak menolak. Ia bersikukuh untuk menyumbangkan sebagian uangnya sebagai rasa syukur bahwa uang itu tidak jadi hilang.
"Pak, njenengan pundhut malih nggih. Njenengan mesthi betah sanget niki kagem biaya berobat niku.. Mengke kirang lho," pesan saya menguatkan mas takmir. Tetapi jawaban bapak itu membuat kami tak berdaya lagi.
"Nek bab betah, manungso niku mesthi rumangsa betah. Betah mboten enten telase. Nek bab kurang, kulo yakin mengke mesthi angsal ijol..." jawabnya. Selagi kami tertegun dengan jawaban itu, beliau berdiri, pamitan, dan keluar dari ruang kontrol.
Kami bertiga bertatap muka kebingungan lagi. Seperti tak percaya dengan yang baru saja kami lihat. Uang yang ditinggalkan si bapak berjumlah 600 ribu. Jumlah yang tidak sedikit bagi orang yang hanya membawa uang tiga juta dari Solo untuk bekal istrinya di Sardjito.
Sekejap saya punya ide dan meminta mas imam yang mahasiswa UIN itu untuk mengembalikan dan menyusulkan uang itu. "Bilang saja begini, niat sedekahnya sudah kita terima. Uang sudah jadi milik masjid, tetapi uang yang kita berikan adalah sumbangan masjid untuk membantu bapak yang kesusahan." Mas imam setuju dan bergegas menyusul si bapak. Dari CCTV kami melihat si bapak akhirnya mau menerima kembali uang itu.
***
Urusan uang itu sebenarnya sederhana. Uang itu bukan milik kita, kita hanya dititipi. Tidak ada kata hilang. Si bapak mengajari kita dengan bijak, kalau soal "butuh uang," kebutuhan itu tak akan ada batasnya kalau dituruti. Kalau soal hilang atau lepas dari tangan kita, apalagi dengan cara sedekah, pasti akan ada gantinya. Anda boleh percaya, boleh tidak, tetapi saya percaya. Saya sudah lama, dan masih terus belajar untuk menempuh jalan hidup yang dianut si bapak dari Solo itu.
Posting Komentar