Hadirin, Jamaah Jumat Masjid Mardiyah yang dimuliakan Allah.
Izinkanlah saya selaku khatib untuk berwasiat kepada jamaah dan kepada pribadi saya untuk tidak lelah-lelahnya berjalan di atas garis ketaqwaan. Baik dengan cara menjalankan perintah Allah, maupun dengan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Untuk itu, marilah juga kita memohon pertolongan Allah agar kita dapat memenuhi wasiat yang berat itu. La haula wa la quwwata illa billah. Kepada Allah kita menyembah dan kepada-Nya memohon pertolongan.
Pesan taqwa semisal ini, karena diulang-ulang setiap Jumat, kadang memang terasa normatif. Terutama, karena kita sering kali berhenti di tingkat pernyataan umum, pesan umum tentang "melaksanakan perintah dan menjauhi larangan." Padahal, jika kita mau menurunkan yang umum itu ke dalam setiap helaan nafas kita, pesan itu 100% persen relevan, praktis, dan diperlukan.
Contohnya, ketika di jalan raya. Kita sering melihat orang yang menerobos lampu merah. Mungkin mereka tergesa-gesa, mungkin mereka sudah terlambat datang ke kantor, atau mungkin mereka memang tidak peduli aturan lalu lintas. Tetapi apa sebab utamanya?
Dalam konteks wasiat Jumat kita, tak lain dan tak bukan karena pada momen-momen semacam itu kita lupa untuk bertaqwa. Sebab, meski ada larangan tergesa-gesa, malah kita sering bergesa-gesa setiap pagi. Ada perintah untuk menghargai dan menjaga waktu, bahkan Allah sampai bersumpah demi waktu (wa'l-asri), tetapi kita senang sekali mengabaikan waktu.
Nah, tentu saja melanggar aturan lalu lintas sama dengan merusak sendi tata tertib bermasyarakat, yang menurut agama, hukumnya juga wajib untuk dijaga. Pada pelanggaran-pelanggaran itu, kita melupakan pesan taqwa.
Maka, jika ditarik ke pondasi yang menggerakkan perilaku menyerobot lampu merah, ketemu juga kita dengan pentingnya bertaqwa bahkan dalam ranah yang sekilas tampak sekuler, umum, di jalan raya, tidak terkait langsung dengan masjid dan ibadah-ibadah ritual dengan mantra-mantra kalimat Arab yang kadang juga tidak kita pahami artinya.
Ilustrasi kecil itu menggambarkan betapa bagi seorang Muslim, segala sendi kehidupan kita adalah cermin ketaqwaan. Maka, jangan heran ketika pada tanggal 21-22 Oktober tahun 1945, para ulama se-Jawa dan Madura berkumpul untuk membahas persoalan yang saat itu tampak seperti persoalan umum, politik, dan pertahanan negara semata, tetapi bagi para ulama kita adalah persoalan pokok bersendi agama.
Setelah deklarasi kemerdekaan pada bulan Agustus, negara kita dihadapkan kepada ancaman kembalinya kolonialisme. Belanda yang membonceng tentara sekutu, kembali ingin menguasai negara kita. Ancaman militer dan politik ini, secara sekilas, tidak mengancam masjid-masjid kita. Tidak menghancurkan pondok-pondok pesantren kita. Seperti tidak ada urusan dengan agama kita.
Tetapi bagi para ulama, ancaman itu adalah ancaman kepada agama kita. Sebab dalam sendi-sendi bernegara itulah mengalir nadi-nadi urusan agama kita. Mempertahankan kedaulatan NKRI, senafas dengan mempertahankan agama. Inilah yang menjadi dasar pemikiran lahirnya "Resolusi Jihad" yang besok pada tanggal 22 Oktober kita peringati menjadi Hari Santri.
***
Konon, Bung Karno pernah bertanya kepada Kiai Wahab Chasbullah, "Apakah nasionalisme itu ajaran Islam?" Jawaban Mbah Wahab menarik untuk kita simak. Kata beliau, “Nasionalisme ditambah bismillah, itulah Islam. Kalau Islam dilaksanakan dengan benar, pasti umat Islam akan nasionalis.”
Mari kita garis bawahi kalimat yang kedua itu: kalau islam dilaksanakan dengan benar, umat Islam pasti nasionalis. Mengapa? Sekali lagi, karena ajaran-ajaran agama, kalau dilaksanakan dengan benar, akan menjadi urat nadi kehidupan berbangsa dan bernegara.
***
Kembali ke ilustrasi di awal tadi, kalau orang konsisten beragama, menjalankan agama dengan baik, maka dia tidak akan melanggar lampu lalu lintas. Kalau dia seorang mahasiswa dan konsisten bertaqwa, maka dia tidak akan mencontek. Kalau dia seorang dosen dan bertaqwa maka, dia tidak akan plagiat. Kalau dia menjabat dan bertaqwa, maka dia tidak akan korupsi.
Dalam surat al-Baqarah Allah berfirman:
ÙˆَÙ„َÙˆْ Ø£َÙ†َّÙ‡ُÙ…ْ آمَÙ†ُوا ÙˆَاتَّÙ‚َÙˆْا Ù„َÙ…َØ«ُوبَØ©ٌ Ù…ِÙ†ْ عِÙ†ْدِ اللَّÙ‡ِ Ø®َÙŠْرٌ ۖ Ù„َÙˆْ Ùƒَانُوا ÙŠَعْÙ„َÙ…ُونَ
Rumusnya sederhana saja. Bertaqwa untuk kehidupan yang lebih baik. Ringan dipesan, kita ulang-ulang setiap Jumat, tetapi berat di praktiknya. Mengamalkan taqwa itu mirip-mirip kalimat tahlil, khafifun fi l-lisan, tsaqilun fi'lan! Mudah dipesankan, berat dilaksanakan.
Tetapi jika taqwa secara konsisten kita amalkan, di situlah terletak kunci-kunci kebaikan.
***
Hadirin, Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah. Semoga khutbah yang singkat ini bermanfaat bagi kita bersama. Semoga pesan ini terpatri di hati sanubari dan terwujud dalam hidup sehari-hari.
Mohon maaf bila ada khilaf. Barakallah li wa lakum fil qur'an al-zim ...
(Mardiyah Islamic Center, 21 Okt 2022)
Posting Komentar