Saya mengenal Bu Ronit lebih dari 10 tahun yang lalu. Kami dipertemukan oleh almarhum sejarawan besar Prof. Ricklefs. Bu Ronit yang sedang riset untuk posdoc-nya waktu itu, butuh asisten. Pak Ricklefs merekomendasikan saya untuk mengisi lowongan itu.
Kami bertemu dan berkenalan di Jogja. Pertemuan singkat waktu itu tak menghasilkan apa-apa. Saya tidak memenuhi kualifikasi yang diperlukan: asisten riset yang akrab dengan teks Jawa carakan. Saya orang Jawa, hanacaraka cuma dipelajari karena wajib di sekolah saja. Apes.
Maka kami pun berpisah. Tidak pernah bertukar kabar. Tidak pernah bertemu lagi. Dunia [akademik] kami berbeda. Tidak ada jalan untuk bertemu.
Tetapi takdir berbicara lain. Tiba-tiba saja, sepuluh tahun kemudian, saya membaca sebuah lowongan posdoc di bawah asuhan beliau. Tiba-tiba saja saya teringat dengan sebuah issue penelitian yang telah lama saya kubur karena sibuk mengurusi difabel.
Proposal saya buat. Kami cocok. Lalu, tiba-tiba saya berada di Israel, negeri yang tak saya duga akan saya kunjungi, apa lagi untuk ditinggali.
Tentu saja banyak pengalaman berharga dari tinggal di Israel setahun. Saya catat baik-baik apa yang saya lihat, saksikan, dan alami. Hasilnya adalah buku "Yerusalem: Kota Suci, Kota Api".
Tertarik ceritanya? Mumpung masih ada diskon pre-oder, Anda bisa menjadi yang pertama mendapatkan buku itu dengan memesan di link ini: https://bit.ly/apisuciyerusalem
Posting Komentar