Kemarin saya memberi penilaian untuk makalah akhir semester. Beberapa mahasiswa saya beri teguran keras karena melakukan plagiat. Pasalnya, mereka terbukti melakukan copas. Dua orang dari mereka mengkomplain keputusan saya. Argumen mereka, skor Turnitin mereka "hanya" 20 persen. Anak-anak itu, entah belajar dari mana, mengira bahwa copas 20 persen bukan plagiat? Jangan-jangan banyak pula orang yang beranggapan demikian.
Pertama, seperti saya tulis di buku Tanya Jawab Plagiarisme, Turnitin adalah alat untuk mendeteksi similarity. Nah, similarity artinya kemiripan. Mirip itu tidak sama dengan plagiat. Meskipun, pada umumnya, indikator utama plagiat adalah mirip, tetapi "mirip" bukan plagiat.
Pengertian ini juga berarti bahwa yang tidak "mirip" menurut Turnitin, katakanlah "0%" juga belum tentu suci dari plagiat. Koq bisa? Ya karena si penulis memplagiat naskahnya dari bahasa asing. Naskah itu sebenarnya hanya terjemahan saja dan Turnitin tidak didesain untuk mendeteksi kemipirian dua naskah yang berbeda bahasa.
Kedua, skor Turnitin bisa diatur dengan setting tertentu. Setting ini yang tidak pernah atau jarang disinggung ketika sebuah lembaga membuat peraturan, misalnya, "Skripsi dinyatakan lolos plagiat kalau skornya 20% atau kurang." Nah, 20% itu meliputi apa saja? Apakah daftar pustaka juga dihitung? Apakah kalimat pendek yang mirip juga dihitung? Misalnya kalimat "Menurut penelitian terdahulu, dapat disimpulkan..." Kalimat semacam ini mungkin akan digunakan ratusan kali sebagai ekspresi umum yang aneh kalau dianggap plagiat.
Kalau Anda orang UIN, apakah terjemah Al-Quran juga dihitung? Sebab, boleh jadi karena membahas Alquran Anda harus berulang-ulang mengutip terjemahan Alquran yang membuat skor similaritas Anda semakin tinggi. Kalau terjemahan itu tidak dikecualikan, skor Anda yang harusnya bisa di angka 20% menjadi 25%!
Ketiga, adanya praktik salah kaprah ketika mahasiswa, bukan dosen atau lembaga, yang diminta setor skor Turnitin. Salahnya dimana? Pertama, karena mahasiswa bisa menyiasati kalimat-kalimat berpotensi plagiat dengan menggantinya agar tidak mirip dengan naskah sumber. Kedua, karena si mahasiswa bisa meng-exlcude yang mirip.
Menyerahkan skoring Turnitin ke mahasiswa sama seperti meminta maling untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Tugas dosen dan lembaga itu seperti polisi, kitalah yang memang harus menyelediki potensi plagiat itu. Kemudian kita juga yang harus menjadi hakim untuk memutuskan apakah skor similarity yang diperoleh berimplikasi plagiat atau tidak. Bukan si mahasiswa!
Dalam kasus mahasiswa saya tadi, tentu saja skor 20% adalah plagiat karena tugasnya adalah tugas mengarang dalam mata kuliah Bahasa Indonesia. Jika mahasiswa diminta menulis 100 kata dan ditemukan 20 kata utuh dalam satu alinea dicopas dari sebuah sumber, tentu saja ia terkena pasal plagiat! Apalagi jika ia tidak menyebut sumber.
Di bawah ini saya buatkan dua contoh makalah dengan skor yang hampir sama, 20% dan 21% tetapi dengan kesimpulan yang berbeda. Skor 20% plagiat, sementara yang 21% bebas plagiat.
Contoh artikel dengan skor 20% tetapi plagiat. Mengapa? 20% similarity terjadi karena si penulis melakukan copas di tulisannya dan dengan sengaja tidak menyebut sumbernya.
Contoh artikel 21% tetapi malah tidak plagiat. Karena 21% similarity bersumber sebagian besar dari daftar pustaka.
Posting Komentar