Saya punya teman sekelas waktu SMA. Selesai menyelesaikan studi doktoralnya, ia pulang kampung karena keluarganya punya pondok.
Pondoknya lumayan besar, punya lembaga pendidikan dari dasar sampai perguruan tinggi. Maka, kalau dulu sewaktu SMA ia baru seorang "gus" sekarang ia sudah jadi "kiai."
Lebih daripada itu, ia juga sudah menjadi rektor. Jabatan bergengsi yang sering jadi rebutan akademisi cum politisi. Tentu, kalau di kampungnya, semua orang membungkuk hormat kepadanya.
Kurang apa coba? Gus, kiai, doktor, rektor! Kalau saja boleh, para santri tentu tidak hanya mencium tetapi juga ngemut tangannya.
Tetapi, teman SMA itu, ketika bersama kami ya tetap saja "teman" sejatinya. Gus, kiai, doktor, rektor hilang semua. Menjadi apa ia sekarang, menjabat apa ia sekarang, sekolah setinggi apa ia sekarang, tidak penting bagi kami.
Sebagai teman, kami merasa nyaman dan ia merasa senang kalau ia dipanggil seperti dulu kami saling panggil: Pek!
Saya nggak tahu bahasa pek ini dari mana aslinya dan nggak penting juga. Terpenting, itulah panggilan terbaik, terhormat, tersayang, yang kami gunakan.
"Piye kabare Pek?"
"Ojo ngono lah Pek!"
Dengan cara itulah kami saling merasa dekat tanpa jarak.
Dan begitulah seharusnya. Fungsi utama "panggilan" adalah mendekatkan yang jauh.
Sungguh, hari-hari terakhir ini, saya sebenarnya sedang sedih karena mendengar "panggilan" yang menjauhkan. Panggilan yang membuat jarak yang tidak perlu.
Ya, mungkin nggak harus dipanggil pek! Tetapi kalau biasanya "pak", ya jangan diubah.
Koyo karo sopo ae pek!
Posting Komentar