Tradisi perkamusan di Barat umumnya dimulai dengan kamus baku dan kamus ekabahasa (monolingual). Dari kamus sumber itu kemudian diterbitkan kamus-kamus yang lebih terbatas, seperti Shorter Oxford Dictionary, Van Dale Handwoordenboek (dari Van Dale Grootwoordenboek der Nederlandse Taal), dan Petit Larousse (berdasarkan Grand Larousse). Setelah itu, baru dilakukan penyusunan kamus-kamus dwibahasa (bilingual). Sementara itu, sejarah leksikografi di Indonesia dimulai dari daftar kata atau glosarium ke kamus-kamus dwibahasa kemudian ke kamus-kamus ekabahasa.
Menurut catatan, karya leksikografi tertua dalam sejarah studi bahasa di Indonesia adalah daftar kata Cina-Melayu pada awal abad ke-15 yang berisi lima ratus lema. Selain itu, daftar kata Italia-Melayu disusun Pigafetta pada 1522. Kamus tertua dalam sejarah bahasa Indonesia adalah karya Frederick de Houtman, yaitu Spraeck ende woordboek, Inde Malaysche ende Madagaskarsche Talen met vele Arabische ende Turcsche Woorden yang diterbitkan pada 1603 dan Vocabularium ofte Woortboek naer order vanden Alphabet in't Duytsch-Maleysch ende Maleysche-Duytsch karya Casper Wiltens dan Sebastianus Danckaerts pada 1623.
Saat itu, banyak kamus diterbitkan atas prakarsa pribadi yang berperan besar terhadap pengembangan bahasa Indonesia, khususnya dalam bidang perkamusan. Salah satu kamus tersebut adalah Kamus Indonesia yang disusun pada 1942 oleh E. St. Harahap, seorang penulis dan juga wartawan. Penyusunan kamus dilakukan karena ada larangan Jepang untuk menggunakan Kitab Arti Logat Melayu. Kamus yang memiliki 452 halaman itu diterbitkan pada masa penjajahan Jepang oleh Penerbit G. Kolff & Co., Bandung. Kamus lainnya adalah Kamus Moderen Bahasa Indonesia yang disusun oleh seorang guru besar dari Universitas Nasional Jakarta bernama Sutan Mohammad Zain pada 1954. Kamus dengan tebal 896 halaman ini diterbitkan oleh Penerbit Grafika Jakarta.
Perkembangan perkamusan di Indonesia tentu saja tidak bisa dilepaskan dari peran lembaga resmi yang mengurusi masalah kebahasaan, yaitu Lembaga Penyelidikan Bahasa dan Kebudayaan Universitas Indonesia yang menjadi cikal bakal Pusat Bahasa. Pada 1952 lembaga itu menerbitkan Kamus Umum Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta, salah seorang pegawai di lembaga tersebut. Kamus karya Poerwadarminta itu dianggap sebagai tonggak sejarah dalam pertumbuhan leksikografi Indonesia. Pada cetakan kelima tahun 1976, Bidang Perkamusan dan Peristilahan, Pusat Bahasa, menambahkan seribu entri baru dan mulai menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Kamus cetakan baru itu memiliki tebal 1.156 halaman.
Setelah penerbitan Kamus Umum Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta, lembaga yang pada 1969 berubah nama menjadi Lembaga Bahasa Nasional itu menyusun kamus bahasa Indonesia “generasi baru”. Kamus itu berjudul Kamus Bahasa Indonesia yang disusun oleh tim perkamusan di bawah pimpinan Sri Sukesi Adiwimarta. Penyusunan kamus itu dimulai pada akhir tahun 1974 dan diterbitkan pada 1983. Meskipun hanya beredar dalam kalangan terbatas, Kamus Bahasa Indonesia dicita-citakan oleh para ahli bahasa Indonesia untuk menjadi kamus besar atau kamus baku.
Namun, karena belum dianggap memenuhi kriteria, Pusat Bahasa membentuk tim baru untuk menyusun kamus besar. Tim itu dipimpin oleh Kepala Pusat Bahasa, Anton M. Moeliono dengan pemimpin redaksi Sri Sukesi Adiwimarta dan Adi Sunaryo. Kamus yang diterbitkan saat Kongres Bahasa Indonesia V pada 28 Oktober 1988 itu bernama Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). KBBI Edisi Kesatu itu memuat kurang lebih 62.000 lema.
Kehadiran KBBI Edisi Kesatu mendapat sambutan baik dari berbagai kalangan. Saat itu, KBBI merupakan kamus terlengkap dan terakurat sehingga menjadi sumber acuan utama. Namun, dalam perjalanannya kamus itu pun mendapat saran dan kecaman dari banyak pihak. Oleh karena itu, Pusat Bahasa menampung dan mengkaji semua reaksi itu dan memutuskan untuk segera menerbitkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua pada tahun 1991. Kamus itu disusun di bawah pimpinan Lukman Ali dengan Pemimpin Redaksi Harimurti Kridalaksana. Lema yang ada dalam edisi itu berjumlah sekitar 72.000.
KBBI Edisi Kedua beredar cukup lama dan mengalami pencetakan ulang berkali-kali. Selama kurun waktu yang cukup lama itu kosakata bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Oleh karena itu, untuk mendokumentasikan kosakata baru dan memutakhirkan kamus edisi sebelumnya, pada tahun 2000 Kepala Pusat Bahasa saat itu yang juga bertindak sebagai Pemimpin Redaksi, Hasan Alwi, memutuskan untuk menerbitkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga yang memuat sekitar 78.000 lema. KBBI Edisi Ketiga itu mengalami cetak ulang sebanyak tiga kali.
Sama seperti pada periode KBBI edisi sebelumnya, bahasa Indonesia pun mengalami perkembangan yang amat pesat selama tujuh tahun peredaran KBBI Edisi Ketiga (2001–2008). Untuk menampung perkembangan tersebut, Kepala Pusat Bahasa saat itu, Dendy Sugono, segera berinisiatif untuk memutakhirkan kamus. Bertepatan dengan peringatan Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Oktober 2008 beliau memutuskan untuk menerbitkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat dengan penambahan nama lembaga pada judul kamus menjadi Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa Edisi Keempat.
KBBI Edisi Keempat memiliki beberapa perbedaan dari KBBI edisi sebelumnya. Perbedaan pertama adalah jumlah lema dan sublema menjadi lebih dari 90.000 lema yang meliputi penambahan kosakata baru, baik yang bersifat umum maupun khusus, dan kosakata dari berbagai bahasa daerah di Indonesia. Selain itu, KBBI Edisi Keempat juga memuat perbaikan menyangkut ketaatasasan definisi, penjelasan lema, dan pemenggalan kata. Perbaikan lain yang dilakukan adalah perbaikan pada informasi teknis, seperti label bidang ilmu, label bahasa daerah, dan informasi yang lain.
Sistematika penyusunan sublema juga tidak lagi berdasarkan abjad, tetapi berdasarkan paradigma, misalnya pada lema tinju. Pada KBBI edisi sebelumnya, sublema bertinju diletakkan setelah lema pokok tinju karena mendapat awalan ber- yang berabjad pada urutan paling atas, kemudian diikuti sublema meninju, tinju-meninju, pertinjuan, petinju, dan peninju. Namun, dengan penyusunan sublema berdasarkan paradigma pembentukan kata, urutan sublema pada KBBI Edisi Keempat menjadi meninju, peninju, peninjuan, tinjuan, bertinju, dan petinju dengan penjelasan bahwa pelaku yang meninju disebut peninju, proses atau perbuatan meninju disebut peninjuan, dan hasilnya disebut tinjuan.
Pada 28 Oktober 2016, delapan tahun sejak peluncuran KBBI Edisi Keempat, KBBI Edisi Kelima diluncurkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhajir Effendi. Serupa dengan KBBI Edisi Keempat, KBBI Edisi Kelima juga memiliki beberapa perbedaan dari KBBI sebelumnya, terutama dalam hal pengembangan kamusnya. Perbedaan pertama terletak pada jumlah lema dan sublema yang bertambah menjadi 112.000.
Perbedaan kedua, KBBI Edisi Kelima juga mulai dikemas dalam bentuk aplikasi daring. Aplikasi yang berfungsi sebagai ruang redaksi KBBI Edisi Kelima itu dapat diakses secara daring melalui laman kbbi.kemdikbud.go.id. Laman akses itu memudahkan masyarakat untuk mencari pengertian kata yang ingin diketahui dan mengusulkan kosakata baru. Selain itu, tim redaksi pun memiliki kemudahan dalam memutakhirkan KBBI, yaitu melakukan penambahan entri baru atau revisi entri yang sudah ada secara daring. KBBI Edisi Kelima dimutakhiran berkala untuk versi daring setiap tahun di bulan April dan Oktober. Setiap pemutakhiran ditambahkan seribu entri baru yang terdiri atas entri atau subentri serta revisi entri atau subentri.
Perbedaan lainnya, KBBI Edisi Kelima memuat penambahan etimologi atau sejarah kata. Pada pembaruan Oktober 2019 etimologi kata yang berasal dari bahasa Arab sudah dimasukkan ke dalam KBBI Edisi Kelima. Pada pemutakhiran Oktober 2020 telah ditambahkan pula informasi etimologi dari bahasa Sanskerta.
Selain itu, KBBI Edisi Kelima memiliki penautan ke Tesaurus Tematis versi daring yang juga merupakan terbitan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Entri tertentu sudah dapat dilihat medan maknanya dalam Tesaurus Tematis (tesaurus.kemdikbud.go.id). Informasi ini ditautkan pada pemutakhiran April 2019. KBBI Edisi Kelima juga memiliki terbitan dalam tiga bentuk, cetak, luring (iOS dan android), dan daring (kbbi.kemdikbud.go.id) untuk menyasar masyarakat dengan berbagai kebutuhan.
Perbedaan terakhir, KBBI Edisi Kelima menyediakan KBBI versi disabilitas. KBBI Braille dan KBBI Disnetra adalah dua bentuk kamus difabel yang menjangkau tidak saja masyarakat umum tetapi juga masyarakat khusus. KBBI Braille dan KBBI Disnetra diperuntukkan bagi kaum disabilitas netra dan rungu.
Selama perkembangannya, KBBI telah memperbaiki dan memutakhirkan isi dan layanannya. KBBI pun telah membuka kesempatan kepada masyarakat untuk berkontribusi dalam perbaikan dan pemutakhiran isi. Dengan demikian, KBBI diharapkan dapat menjadi media bagi masyarakat untuk tidak hanya menjadi pengguna kamus, tetapi juga sebagai pekamus.
Sumber: https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/artikel-detail/97/sejarah-kamus-besar-bahasa-indonesia
Posting Komentar