Ketika Mbak
Alimatul Qibtiyah pagi itu menelepon untuk meminta tulisan bagi buku ini, saya
sempat menyatakan tidak sanggup. Menulis tentang Pak Amin Abdullah, guru kita, adalah sebuah kehormatan; tetapi karena
waktunya hanya tiga hari, saya tak berani mengecewakan beliau. Dengan Mbak
Alim, saya masih bisa menolak; tetapi begitu Pak Amin sendiri yang mengambil
alih telepon dan menyampaikan dawuhnya, saya tak berdaya lagi untuk menawar.
Murid itu tidak punya jawaban kepada permintaan guru selain, “Nggih pak.
Siap!” jawab saya.
Pak Amin dan
tulisan-tulisannya adalah bagian tak terpisahkan dari siapa saya (dan kita).
Jika sosok saya direpresentasikan dalam sebuah gambar yang tersusun dari kepingan-kepingan
puzzle, misalnya, pasti ada yang bolong-bolong kalau unsur pengaruh Pak
Amin dibuang dari gambar itu. Pak Amin adalah dan selalu menjadi bagian dari saya
baik sebagai alumni maupun sebagai dosen di UIN Sunan Kalijaga. Sebagai orang
yang beruntung menjadi murid langsungnya di program magister dan doktor; dan
kemudian menjadi kolega dosen di bawah kepemimpinannya sebagai rektor, saya
merasa mustahil untuk tidak menuliskan keberuntungan itu.
Saya akan menulis
Pak Amin terutama dalam tiga tema terkait. Lewat tiga tema itu saya “mengalami”
Pak Amin dalam karier akademik saya di Jogja. Dimulai tahun 1998 ketika saya
menjadi murid beliau di Program Pascasarjana dan kemudian menjadi bagian dari
elemen penggerak pendidikan inklusi di UIN Sunan Kalijaga. Saya ingin tunjukkan
kepada Anda bagaimana puzzle pengaruh Pak Amin yang saya maksud di awal
tulisan ini mewujud nyata, berjalin erat, dengan karier akademik saya sendiri.
Studi Islam: Normatif dan Historis
Bertahun-tahun
belajar Islam, dari madrasah diniyah sore untuk mengaji ta’lim dan
safinah, mondok saat tsanawaiyah, mengambil studi khusus agama selama
tiga tahun di madrasah aliyah, dan kemudian belajar Islam di IAIN selama empat
tahun, saya tidak pernah membayangkan bahwa pada akhirnya saya menyadari bahwa sebenarnya
ada cara berbeda untuk mempelajari Islam: sebut saja, yang pertama “pengajian”
dan kedua “pengkajian.”
Ketika memutuskan
hijrah dari Solo untuk kuliah S2 di Jogja, bukan kota lain, hal terpenting yang
menjadi pertimbangan saya adalah iklim akademik kritis yang berkembang di kota
ini. Waktu itu, dari Solo, saya merasakan aura ini dari buku-buku yang
diterbitkan oleh LKiS. Sepertinya, pikir saya waktu itu, akan sangat asyik
kalau saya merasakan langsung iklim akademik kritis ini. Dan Jogja, akhirnya,
memberikan apa yang saya bayangkan itu. Saya memiliki kesempatan untuk belajar
langsung dari Mas Imam Aziz, Jadul Maula, dan Hairus Salim di LKiS; belajar
langsung cara berpikir kritis dalam diskusi rutin mingguan yang mereka asuh.
Tidak hanya di LKiS,
ternyata iklim “kritis” yang sama juga dapat ditemukan di kampus. Pada tahun
1996, dua tahun sebelum saya hijrah ke Jogja, Pak Amin Abdullah menerbitkan
buku Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Bagi saya, buku inilah
yang membantu transisi saya dari “pengajian” ke “pengkajian.” Selama ini saya
belajar Islam dengan cara pengajian, dan sekarang waktunya belajar Islam dengan
pengkajian. Buku ini memberikan pemetaan yang baik, referensi yang jelas, dan
contoh-contoh menarik dari perlunya melihat Islam dengan cara berbeda. Apa yang
saya alami lewat diskusi-diskusi “pengkajian” kritis di LKiS mendapatkan wawasan
yang baik dari kritik yang ditawarkan oleh Pak Amin.
Buku ini menjadi
semacam panduan praktis untuk menunjukkan di mana wilayah kritis dan wilayah
dogmatis dari studi agama. Sederhananya, meskipun kita mengonsumsi
bacaan-bacaan kritis seperti Arkoun, An-Naim, Nasr Hamid Abu Zayd, dll yang
populer pada masa itu, kita tahu persis mengapa kita membaca mereka dan apa
dampaknya terhadap apa yang kita yakini.
Dengan buku Pak
Amin kita menjadi bebas menikmati kritik-kritik Arkoun terhadap pembacaan
al-Qur’an, dan pada saat yang sama tetap rutin nderes Qur’an setiap
paginya. Gagasan untuk mendekati al-Qur’an sebagai “karya sastra” tidak membuat
kita ragu bahwa al-Qur’an adalah firman Allah. Semua berjalan pada jalurnya
karena dengan membaca buku Pak Amin itu kita tahu apakah pikiran-pikiran kritis
itu membongkar historisitas agama atau dogmanya.
Oleh sebab itu,
saya kemudian secara serius membaca pemikiran-pemikiran Arkoun. Tentu saja,
dengan akses literatur yang lebih terbatas dibandingkan zaman sekarang,
pemikiran Arkoun lebih banyak saya kaji lewat terjemahan-terjemahan dan sumber
sekunder lainnya. Terjemahan Pak Machasin, Berbagai Pembacaan Qur’an, dan
tulisan Pak Amin, “Arkoun dan Kritik Nalar Islam” (dimuat dalam bunga rampai Tradisi,
Kemodernan, dan Metamodernisme) menjadi salah satu pemandu penting. Pak
Amin sekali lagi membimbing saya untuk menyelami Kritik Nalar Islami.
Hasil pergulatan
saya dengan topik ini kemudian saya tulis dan terbitkan sebagai “Nalar Ushuli
ke Nalar Interdisiplin: Studi atas Implikasi Kritik Nalar Islami Mohammed
Arkoun” yang diterbitkan di Hermenia: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner.
Pak Amin mungkin tidak mengetahui hal-hal kecil ini, tetapi saya tidak akan
pernah mengingkari bahwa sepotong puzzle akademik saya ini berhutang
kepada beliau. Kalau tulisan itu menjadi amal ajariyah, misalnya, Pak
Amin pasti mendapatkan bagiannya.
Mazhab Sapen
Setelah lulus S2,
saya beruntung karena terpilih menjadi dosen di IAIN Sunan Kalijaga. Sebagai
alumni STAIN Surakarta dan berkali-kali tidak lulus tes dosen di IAIN lain
(tiga STAIN, persisnya), tak terbayangkan sebelumnya bahwa akhirnya saya
terdampar di tempat yang lebih baik. Teman-teman saya bilang, jangan pernah
meragukan skenario Tuhan! Sebagai IAIN tertua di Indonesia, kampus ini memiliki
tradisi akademik yang lebih pajang dan kuat, tempat gagasan-gagasan besar
disemai dan menyebar ke seluruh Indonesia melalui jaringan alumninya.
Kalau tadi saya
menyebut pengaruh buku Pak Amin, Studi Agama: Normativitas atau
Historisitas?, perlu dicatat bahwa buku ini dilahirkan dalam ruang akademik
IAIN Sunan Kalijaga, menjadi bagian dari diskusi-diskusi setema yang ikut
membentuknya. Misalnya, pertama dan paling utama, adalah tulisan Pak Mukti Ali.
Sebab, pertanyaan tentang bagaimana “mengkaji” Islam pertama-tama dilontarkan
di zaman Pak Mukti Ali, pada waktu “penelitian agama” masih dianggap tabu.
Dalam tulisan
beliau, “Metodologi Ilmu Agama Islam” (dimuat dalam Metodologi Penelitian
Agama: Sebuah Pengantar), Pak Mukti Ali mengklasifikasi metode studi Islam
itu dalam dua kelompok besar: metode ilmiah dan metode doktriner. Contoh yang
metode ilmiah adalah studi-studi Islam di Barat, yang meneliti Islam dari aspek
historis, filosofis, sosiologis, atau-ilmu kemanusiaan yang lain. Sedangkan
contoh studi Islam doktriner adalah studi Islam yang berkembang di
lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Pak Mukti Ali,
sebagaimana kelak dilanjutkan oleh Pak Amin Abdullah, menolak untuk hanya menggunakan satu model
pendekatan saja. Pendekatan ilmiah, yang biasa digunakan orientalis, menghasilkan
kajian yang menarik tetapi dangkal, karena menggali agama di aspek luarnya,
eskternalitasnya, saja. Sebaliknya, para ulama kita yang mengkaji Islam secara
doktriner dan dogmatis gagal menghubungkan agama dengan kenyataan-kenyataan
hidup di masyarakat. Produk kajian mereka adalah agama yang terkesan kuno dan
ketinggalan jaman. Pak Mukti Ali mengatakan perlunya pendekatan yang
komprehensif. Beliau menyebutnya sebagai pendekatan ilmiah-cum-doktriner atau
pendekatan scientific-cum-suigeneris, yang beliau sebut sebagai “metode
sintesis.”
Maka, jika kita
amati, kegelisahan-kegelisahan semacam inilah yang selalu berkembang di Jogja. Selain Pak Amin, kita juga memperoleh
sumbangan gagasan dari rektor sebelum beliau, Pak Atho Mudzhar dalam isu ini.
Pak Atho, yang berangkat dari tradisi akademik Amerika, menawarkan cara
klasifikasi pendekatan dalam penelitian melalui gejala yang diamatinya.
Selangkah berbeda dari Pak Mukti Ali, Pak Atho seperti mengingatkan adanya
studi lain yang perlu dipertimbangkan: gejala kealaman, gejala budaya, dan gejala
sosial. Studi Islam, menurut beliau, mungkin hanya cocok dengan dua yang
terakhir. Sehingga studi Islam dapat dikembangkan dalam kerangka studi ilmu-ilmu
budaya dan ilmu-ilmu sosial. PR yang disisakan oleh klasifikasi Pak Atho
adalah, bagaimana hubungan studi Islam dengan gejala kealaman?
Saya melihat di
sinilah Pak Amin, yang kebetulan secara estafet kepemimpinan melanjutkan beliau,
tiba pada saat yang tepat untuk memimpin UIN Sunan Kalijaga dalam mengusung
pendekatan yang kelak dikenal sebagai “integrasi-interkoneksi.” Pak Amin versi
yang ini, menurut saya, berbeda dengan Pak Amin yang mengusung pendekatan
normativitas dan historisitas. Mungkin karena posisi beliau yang sudah tidak
lagi hanya mengurus Usuludin dan menjadi rektor UIN yang telah membuka
prodi-prodi ilmu kealaman, beliau harus mengembangkan pendekatan yang pernah
diusungnya.
Dalam pendekatan
“integrasi-interkoneksi” ini, yang sering digambarkan dengan jaring laba-laba
itu, Pak Amin mencoba melihat kaitan yang wajib ada antara berbagai ilmu-ilmu manusia.
Beliau melihat bahwa selama ini ilmu-ilmu ini berjalan sendiri-sendiri. Mungkin
karena objek dan epistemologinya yang berbeda, mereka memang tidak akan pernah
bisa dipertemukan. Tetapi bahwa dalam praktik “berkemanusiaan” kita menghadapi
dunia yang saling terkait erat, pendekatan yang terisolir dapat menjadi sumber
masalah kemanusiaan kontemporer. Pelanggaran HAM, krisis lingkungan hidup, global
warming, mungkin adalah produk dari keterisolasian antar ilmu. Di UIN Sunan
Kalijaga yang ia pimpin, setidaknya, tidak boleh ada keterisolasian ini.
Hubungan antar
ilmu dimaksud, hanya saja, tidak berujung kepada proyek Islamisasi pengetahuan
seperti yang diusung al-Faruqi di Amerika. UIN Sunan Kalijaga menyadari benar
bahwa tidak semua ilmu itu bisa saling disatukan. Ilmu alam yang burhani,
misalnya, dari segi epistemologi mungkin tidak akan pernah bertemu,
terintegrasi, dengan ilmu tasawuf yang Irfani. Maka, selagi keduanya akan tetap
berjalan di garis epistemologis masing-masing, keduanya wajib saling menyapa
dan berdialog, atau yang dalam bahasa UIN disebut “interkoneksi.” Silakan baca
buku-buku dan tulisan beliau untuk lebih menyelami isu ini.
Bagi saya,
diskusi dan pencarian panjang untuk menjawab persoalan-persoalan besar seperti
inilah yang membuat UIN Sunan Kalijaga di Sapen menjadi istimewa. Ada
kesinambungan perhatian dari zaman Pak Mukti Ali sampai ke Pak Amin Abdullah.
Sehingga apa yang dulu diinginkan Pak Mukti Ali sebagai ilmiah-cum-doktriner
untuk studi ilmu agama, memperoleh penyempurnaan dalam versi pendekatan
integrasi-interkoneksi di zaman Pak Amin Abdullah. Kalau mau disebut sebagai “Mazhab
Sapen”, maka mazhab ini bukan mazhab tunggal, tetapi justru mazhab macam-macam
yang saling melengkapi.
Kampus Inklusif
Terkait dengan
pembahasan paradigma integrasi-interkoneksi, mungkin Anda sudah bisa melihat
sosok Pak Amin sebagai ilmuwan, dan salah satu guru penting Mazhab Sapen.
Tetapi mungkin penting juga untuk melihat bagaimana integrasi-interkoneksi itu
dalam aksi. Maksud saya, agar kita tidak mengira bahwa diskusi integrasi-interkoneksi
itu semata-mata berhenti di wilayah teori tetapi nol aksi! Saya ingin mengatakan
bahwa integrasi-interkoneksi itu juga ada dalam ranah aksi.
Aksi yang saya
maksud, yang saya anggap penting dan saya alami sendiri adalah langkah-langkah
UIN Sunan Kalijaga menjadi kampus inklusif pertama di Indonesia melalui
pendirian Pusat Layanan Difabel (PLD). Saat ini PLD adalah lembaga struktural
di bawah LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) dan diberi amanat
sebagai lembaga yang “melayani difabel” atau, dengan kata lain, mengawal
implementasi pendidikan inklusif di UIN Sunan Kalijaga.
PLD menjadi pemain
penting untuk memastikan bahwa UIN Sunan Kalijaga secara adil dan terbuka
menerima mahasiswa dengan berbagai macam disabilitasnya untuk mendapatkan akses
mendaftar, mengikuti kuliah, dan lulus menjadi sarjana di UIN Sunan Kalijaga
tanpa diskriminasi. PLD juga mengawal agar secara fisik dan sosial UIN Sunan
Kalijaga menjadi kampus yang ramah bagi difabel, mulai dari memastikan akses ke
gedung dan ruangan, hingga keramahan para civitas akademica-nya dalam menerima
difabel sebagian bagian integral kampus UIN Sunan Kalijaga.
Sudah ada banyak
tulisan tentang hal-hal tersebut yang sudah saya tulis dan pembaca dapat
melacaknya untuk mendalami detailnya. Satu hal yang belum banyak diceritakan
dari berbagai tulisan itu adalah peran Pak Amin sebagai rektor. PLD awalnya berdiri
pertama tahun 2007 sebagai Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD) ketika Pak
Amin menjadi rektor. Ketika ide mendirikan PSLD dibawa oleh teman-teman yang
pulang dari McGill University (Kanada), kepada Pak Amin lah ide itu disampaikan.
Pak Amin, seperti dapat diduga, menyambut dengan baik ide ini dan mendukung
sepenuhnya.
Ketika kampus
lain belum memikirkan dan UU Penyandang Disabilitas pun belum dilahirkan, UIN
Sunan Kalijaga di bawah Pak Amin sudah mengawalinya. Maka, pertanyaannya
mungkin, jika UU dan aturan belum mewajibkan, apa yang mendorong Pak Amin dan
UIN menerima ide kampus inklusi? Jawabannya tentu tidak juah-jauh dari paradigma
“integrasi-interkoneksi” yang diceritakan di awal. Untuk sampai kepada
kepedulian terhadap difabel, UIN Sunan Kalijaga tidak perlu undang-undang,
tetapi cukup dengan ilmu agama yang berdialog dengan isu-isu sosial, menyapa
tema-tema global seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan demokrasi.
Contoh kongkretnya
adalah penyelenggaraan khotbah berbahasa isyarat di Masjid UIN Sunan Kalijaga.
Kalau Fikih terisolasi yang digunakan, maka Tuli atau tunarungu yang tidak bisa
mendengarkan khotbah akan diberi solusi dengan “rukhsah” (dispensasi). Perspektifnya
adalah perspektif yang memandang mereka sebagai mukallaf, subyek hukum,
yang tidak memenuhi syarat kecakapan sehingga perlu mendapatkan dispensasi.
Berbeda dengan
pendekatan tersebut, Fikih yang sudah berdialog dengan isu-isu hak asasi
manusia mengubah sudut pandangnya dari segi kewajiban negara dalam menjamin hak
setiap warga negara dalam beragama. Karena agama adalah hak, ia tidak dapat
didispensasi, ia harus dipenuhi. Si Tuli boleh saja mengambil dispensasi dari
sudut pandang pribadinya, tetapi masjid UIN berkewajiban untuk memastikan bahwa
ibadah yang diselenggarakannya aksesibel bagi semua orang. Layanan khotbah
bahasa isyarat adalah bentuk penunaian kewajiban itu.
Jadi, inspirasinya
bukan Undang-undang, tetapi malah al-Qur’an, terkhusus the famous surat
‘Abasa itu yang ditafsirkan dengan pendekatan baru, yang dibangun dari tradisi
ilmu sosial dan budaya, dan komitmen terhadap isu-isu hak asasi manusia
(difabel). Sebab, paradigma integrasi-interkoneksi yang diinisiasi Pak Amin
tadi mewajibkan UIN untuk mempertemukan teks (hadarah nas), kebenaran
ilmiah yang terwujud dalam berbagai mata kuliah sosial-budaya-kelaman (hadarah
al-‘ilm), dan kebenaran filosofis yang terwujud dalam berbagai mata kuliah
terkait filsafat dan etika (hadarah al-falsafah). Khotbah ramah difabel,
dari semua proses itu, adalah buahnya, aksi nyata integrasi-interkoneksi yang
tidak datang dengan tiba-tiba.
Penutup
Kontribusi Profesor
Amin Abdullah, saya yakin, lebih banyak lagi dari yang bisa saya ceritakan
dalam tulisan singkat diburu deadline ini. Tetapi dalam yang singkat ini
semoga saya bisa menunjukkan bagaimana Pak Amin telah menjadi bagian integral tidak
hanya UIN sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga terhadap individu-individu
yang bekerja di dalamnya dan juga alumni yang dihasilkannya. Nama beliau
mungkin sudah diabadikan sebagai nama salah satu gedung di UIN Sunan Kalijaga,
tetapi keabadian nama beliau lebih terpatri dan berpengaruh nyata di dalam
banyak jiwa yang pernah bertemu dengannya. Selamat ulang tahun Pak, panjang
umur, sehat, dan terus menebar inspirasi dan bimbingan untuk kami! (Bantul 27
Juni 2023).
Posting Komentar