Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan pesan via WA dari seorang mahasiswi. Sebut saja ia Mawar. Seperti tampak dalam tangkap layar di bawah ini, Mawar menanyakan apakah artikel yang ia temukan ini dapat dianggap plagiat. Sebab, meskipun ditulis dalam bahasa yang berbeda, Inggris dan Indonesia, isinya sama.
Setelah saya ikut cermati, memang kedua naskah itu sama. Si plagiator menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia. Saya sudah dua kali menjumpai kasus semacam ini. Bedanya, kasus yang satunya lagi diterjemahkan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Dalam dua kasus terjemahan semacam ini, tentu saja turnitin tidak dapat mendeteksi. Dan karena itulah sering saya bilang, turnitin itu hanya "alat bantu," bukan "alat penentu" plagiarisme.
Kembali ke percakapan kami di WA. Mahasiswa ini tentu saja merasa kecewa, "profesor koq plagiat." Tampaknya ia memiliki keyakinan bahwa gelar "profesor" itu mewakili segala puncak kemuliaan akademik: standar tertinggi kelimuan dan standar tertinggi integritas. "Sebagai mahasiswi, saya punya pandangan bahwa profesor itu sudah paripurna keilmuannya."
Idealnya, ia tidak keliru. Sebab, dalam gelar dan jabatan itu terdapat tanggung jawab mendidik mahasiswanya, membimbing mereka yang lebih rendah jabatannya, dan karena dua hal itu profesor mengemban peran sebagai teladan, role model. Bagaimana profesor dapat mendidik mahasiwanya menjadi akademisi yang baik kalau ia sendiri melanggar paramater kebaikan akademik? Bagaimana ia dapat membimbing dosen yang lebih muda kalau ia sendiri tersesat?
Kenyataanya memang menyakitkan. Bukannya mendidik mahasiswa untuk menjadi akademisi yang baik, tidak sedikit guru besar yang mempertontonkan perilaku tidak etis terintegrasi dalam pengajaran di kelasnya. Memberi tugas kepada mahasiswa untuk menulis dan menerbitkan artikel di jurnal, lalu ia titip namanya menjadi penulis bersama. Bahkan ada yang tega minta jadi penulis pertama.
Bukannya membimbing dosen lebih muda yang baru memulai karir untuk mengikuti jejaknya dalam dunia penelitian yang perlu waktu, kesabaran, dan ketelitian, mereka malah "mengerjai" yang muda-muda untuk publikasi dan titip nama dengan topeng indah bernama "kolaborasi."
Dalam dua praktik itu, mending kalau mereka mau ikut tanggung jawab atas karya yang dipublikasikan, tidak hanya sekali dua kali mereka cuci tangan ketika ada masalah. Di sidang etik sebuah PTKIN, si profesor menjawab, "Lha itu karya mahasiswa saya, dia yang plagiat, saya tidak tahu menahu!" Duh!
Profesor yang kayak gini memang bikin malu jamaah profesoriyah. Mereka ini pantasnya memang tidak dirujuk, tetapi dirujak saja.
Posting Komentar