Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah.
Mari kita bersama-sama bersyukur kepada Allah Swt yang telah melimpahi kita dengan banyak nikmat. Khususnya: nikmat negeri Indonesia yang dikaruniai kekayaan alam yang berlimpah dan penduduknya yang terkenal ramah. Negeri yang sampai hari ini masih dirahmati Allah sebagai negeri yang damai. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada kekasih kita, Nabi Muhammad saw, yang dengan selawat itu kita berharap limpahan keberkahannya.
Sidang Jumat yang mulia.
Kemarin malam saya menerima tamu, sepasang suami-istri dari Cina. Mereka adalah salah satu dari sedikit orang Cina Muslim beretnis minoritas di negara komunis itu. Mereka adalah teman lama sekali, hampir dua puluh tahun kami terpisah dan tidak pernah membayangkan bahwa kami akan berjumpa kembali.
Ringkas cerita, perjumpaan itu menggoda saya untuk bertanya banyak hal tentang negeri Cina, khususnya bagaimana suasana politiknya sebagai negara komunis, bagaimana keadaan ekonominya, bagaimana nasib rakyatnya, khususnya saudara-saudara kita minoritas Muslim di sana. Hampir semua pertanyaan saya dijawab dengan kata, “rumit.” Jadi, bukan “sulit” , tetapi ia pilih “rumit.”
Kata “rumit” itu dipilih karena segala jawaban yang mungkin diberikan dipengaruhi oleh keadaan politik di negeri itu yang tertutup, dikuasai oleh segelintir orang, dan orang biasa tidak memiliki akses ke pusat-pusat kekuasaan, bahkan bagi para ilmuwan seperti teman saya itu. Bertanya tentang karir, jawabnya “rumit.” Bertanya tentang nasib minoritas Muslim, jawabnya “rumit.”
Sampai saya punya ide untuk menyederhanakan persoalan yang rumit-rumit ini kepada anaknya. “Let’s make it simple.” Kata saya memulai sebuah pertanyaan kepada anaknya yang malam itu diperkenalkan kepada saya. Seorang remaja yang tahun ini akan mulai kuliah di perguruan tinggi. “Bisa enggak kamu punya cita-cita untuk menjadi orang kaya di China?”
Bagi saya, ini pertanyaan yang sederhana saja. Jawabannya hanya dua: bisa dan tidak bisa. Ia tampak berpikir keras untuk menjawab pertanyaan sederhana itu. Lalu ia jawab, “Tidak. Tidak bisa”
Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan Allah.
Kadang, kita baru menghargai sumur ketika musim kemarau tiba dan sumur-sumur itu mengering. Kadang kita lupa bahwa apa yang sekarang kita nikmati sebagai bangsa Indonesia ini adalah privilege, anugerah, yang tidak dimiliki oleh bangsa lain, atau bahkan tidak dimiliki oleh bangsa kita sendiri di waktu yang lain.
Setelah perjuangan panjang, kita baru bisa merasakan “merdeka” di tahun 1945. Setelah perjuangan panjang, kita baru merasakan kembali negeri yang “demokratis” pada tahun 1998. Bagi generasi yang tidak berjuang untuk kemerdekaan, nikmat merdeka mungkin mereka anggap sebagai hal biasa. Taken for granted. Bagi generasi yang tidak berjuang untuk reformasi, negeri yang demokratis mungkin mereka anggap sebagai hal yang biasa. Mereka tidak tahu rasanya menjadi rakyat yang terbungkam di masa orde baru, yang kritik terhadap pemerintah dapat berakibat penjara atau bahkan kehilangan nyawa.
Bagi kita yang biasa bebas bercita-cita, mungkin kebebasan itu kita anggap sebagai hal yang biasa. Padahal, dengan mengaca kepada tamu saya dari China tadi, merdeka dan demokratis adalah karunia yang luar biasa. Bisa bebas cita-cita ternyata juga nikmat yang tidak dimiliki oleh semua bangsa.
Dengan bangga saya bilang ke tamu saya tadi, bahwa kami, rakyat Indonesia masih bebas bercita-cita untuk menjadi apa saja yang kami inginkan. Cita-cita menjadi orang kaya, tinggal bekerja dan berusaha. Cita-cita menjadi ilmuwan, tinggal belajar dan berusaha. Bahkan, tidak seperti di China, setiap anak di negeri ini dapat bermimpi menjadi presiden. Paling tidak, demikianlah yang kita rasakan hingga hari ini.
Hadirin yang dimuliakan Allah
Oleh sebab itu, menjelang Pemilu yang tinggal beberapa hari lagi ini mari kita berpartisipasi, peduli, untuk menjaga anugerah negeri damai dan demokrasi ini. Caranya bagaimana? Seperti dalam ayat yang sudah dikutip di awal khutbah ini, Allah swt berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Dua hal ini, iman dan takwa, sebenarnya adalah etika tertinggi dalam berbangsa dan bernegara. Orang yang tidak beriman, ia bisa terjebak dalam kesombongan. Seolah-olah apa saja yang terjadi ada di tangan dan kuasanya. Seolah-olah ia punya kuasa atas jalannya dunia ini.
Sementara orang yang tidak bertakwa akan merasa bahwa perilaku-perilaku koruptifnya itu tidak ada yang mengawasi. Seolah-olah ia bisa menyembunyikan kezaliman dari mata manusia. Padahal Tuhan mengawasinya dan sewaktu-waktu bisa membongkar tipu dayanya.
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ ۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
Kelihatannya memang normatif, karena iman dan takwa itu tercantum dalam banyak pasal dan undang-undang kita, menjadi syarat daftar pegawai atau pejabat negara. Tetapi yang salah bukan norma dan etikanya, yang salah adalah kita saja yang sering dan suka mengabaikan etika.
Semoga catatan kecil ini dapat menjadi renungan kita ke depan. Semoga bagi kita sekalian dianugerahkan taufiq dan inayah untuk membangun bangsa yang besar, damai, dan sejahtera. Baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.
Allahumma Amin.
Posting Komentar