Sejak ratifikasi CRPD pada 2011 dan pengesahan Undang-Undang Disabilitas No. 8 pada 2016, perhatian terhadap hak penyandang disabilitas di Indonesia semakin meningkat. Kampanye hak-hak disabilitas juga meluas dan melibatkan berbagai pihak. Organisasi Islam pun mulai memperhatikan isu disabilitas. Masjid-masjid di beberapa kota, seperti Yogyakarta, Klaten, dan Jakarta, telah menjadi aksesibel bagi penyandang disabilitas. Pada 2017, konferensi Alim Ulama Nahdlatul Ulama menyediakan penerjemah bahasa isyarat. Perhatian Muslim Indonesia tak hanya pada hak disabilitas, tetapi juga pada 'reformasi' interpretasi agama dan hukum Islam. Organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama, membahas hak penyandang disabilitas pada Munas Alim Ulama 2017 dan menerbitkan Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas. Sementara Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar kedua, juga mengeluarkan Fikih Difabel.
Penelitian ini
mempelajari Fikih Difabel Muhammadiyah, menjelaskan konteks isu disabilitas
dalam Muhammadiyah, sejarah bantuan mereka kepada penyandang disabilitas, dan
bagaimana Fikih Difabel mencerminkan awal pergeseran paradigma di Muhammadiyah
untuk melihat disabilitas di luar belas kasihan. Studi Islam dan disabilitas
membahas teks Islam dan interpretasinya tentang isu-isu disabilitas. Studi ini
penting mengingat perkembangan studi Islam dan disabilitas di Indonesia, yang
ditandai dengan banyaknya publikasi tetapi masih beluma da yang meneliti Fikih
Difabel Muhammadiyah.
Muhammadiyah dan
Difabel
Pengabdian
Muhammadiyah pada penyandang disabilitas melibatkan tiga model organisasi dan
pelayanan: (1) layanan sosial, (2) program pemberdayaan masyarakat, dan (3)
advokasi sosial. Layanan sosial termasuk pendidikan dan pelatihan keterampilan
bagi penyandang disabilitas, dengan sistem panti dan SLB. Program pemberdayaan
masyarakat melibatkan pendekatan berbasis panti dan berbasis masyarakat, dengan
memberikan modal usaha dan pelatihan kewirausahaan kepada penyandang
disabilitas. Sementara itu, advokasi sosial dilakukan melalui upaya pengesahan
peraturan daerah dan penyertaan anggota penyandang disabilitas dalam
kepengurusan nasional Muhammadiyah.
Pemahaman
Muhammadiyah terhadap pendidikan lebih dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah
daripada kebijakan internal. Pendidikan inklusif di
sekolah-sekolah Muhammadiyah terutama didorong oleh kebijakan pemerintah
daerah. Namun, pelaksanaannya masih menghadapi kendala, termasuk kurangnya
kesiapan sekolah untuk menerima siswa non-disabilitas dan kasus-kasus pelecehan
terhadap anak-anak penyandang disabilitas.
Selain itu,
Muhammadiyah juga terlibat dalam advokasi sosial untuk memperjuangkan hak-hak
penyandang disabilitas melalui pengusulan peraturan daerah di beberapa daerah,
serta melibatkan penyandang disabilitas dalam kepengurusan nasional
Muhammadiyah. Upaya ini bertujuan untuk mengubah posisi penyandang disabilitas
dari yang hanya menjadi sasaran pemberdayaan menjadi bagian dari pihak yang
memberdayakan.
Dalam rangka
mengimplementasikan keputusan Muktamar ke-47 dan menyadari keterkaitan isu
disabilitas dengan berbagai elemen Muhammadiyah, Majelis Tarjih dan Tajid
membentuk tim penyusunan untuk Fikih Difabel. Tim tersebut terdiri dari
berbagai elemen dalam Muhammadiyah, termasuk Majelis Tarjih dan Tajdid, Majelis
Pemberdayaan Masyarakat, dan Majelis Kesejahteraan Sosial dari Dewan Nasional
Aisyiyah. Tim tersebut juga mewakili berbagai kelompok, seperti perempuan,
penyandang disabilitas, akademisi, aktivis sosial, dan pakar agama. Tim
tersebut bekerja dari September 2018 hingga April 2020 dengan melakukan diskusi
kecil, workshop dengan berbagai pemangku kepentingan, dan menyusun draf yang
akhirnya disampaikan dalam Munas XXXI Muhammadiyah.
Fikih Difabel
Fikih Difabel
merupakan bagian dari Materi Munas Tarjih Muhammadiyah XXXI, Buku I. Dokumen
ini terdiri dari tiga bagian: Bagian I tentang Tata kelola dan pembaharuan
Agraria, Bagian II tentang Fikih Difabel, dan Bagian III tentang Kriteria Waktu
Subuh. Fikih Difabel terdiri dari enam bab yang mencerminkan struktur pemikiran
difabel dalam Muhammadiyah. Namun, pemahaman tentang Fikih Difabel tidak cukup
hanya dengan membaca dokumen Munas XXXI. Dokumen ini tidak mencantumkan
pengertian Fikih secara khusus, karena Muhammadiyah telah menerbitkan beberapa
Fikih sebelumnya.
Muhammadiyah
memandang Fikih sebagai pemahaman tentang nilai-nilai dasar Islam, bukan
sekadar formulasi hukum halal dan haram. Fikih dalam Muhammadiyah terbagi
menjadi tiga lapisan normatif: nilai-nilai dasar, prinsip umum, dan regulasi
hukum yang berlaku. Fikih Difabel merupakan Fikih terbaru yang menambahkan
perspektif difabel dalam Muhammadiyah.
Fikih Difabel
mencerminkan pandangan Muhammadiyah tentang difabel dalam dua konteks: sebagai
organisasi Islam dan organisasi sipil. Dalam struktur normatifnya, Fikih
Difabel mencakup tiga nilai dasar: tauhid, keadilan, dan maslahah. Tauhid
menekankan kesetaraan manusia di hadapan Tuhan, keadilan menegaskan hak-hak
penyandang difabel, dan maslahah mengacu pada kemaslahatan umat manusia.
Dalam lapisan
prinsip umum, Fikih Difabel menekankan martabat manusia, inklusivitas, dan
dukungan terhadap kemajuan dan pengetahuan. Nilai-nilai ini menjadi jembatan
dengan regulasi hukum yang berlaku pada lapisan ketiga, al-ahkam al-far'iyyah.
Fikih Difabel
memberikan pedoman tentang ibadah dan muamalah bagi penyandang difabel. Namun,
pembahasan lebih terfokus pada muamalah daripada ibadah. Prinsip-prinsip Fikih
Difabel mencakup menghilangkan kemudaratan, tidak membebani, dan
menggembirakan, serta menyesuaikan hukum Islam dengan Undang-undang Penyandang
Disabilitas.
Secara
keseluruhan, Fikih Difabel mengusung pandangan inklusif terhadap penyandang
difabel dan mendukung penuh hak-hak mereka sebagaimana diatur dalam
undang-undang. Meskipun demikian, masih ada beberapa aspek yang perlu
disempurnakan untuk memastikan penerapan yang efektif dalam kehidupan
sehari-hari penyandang difabel.
Kesimpulan
Muhammadiyah
telah lama memperhatikan isu disabilitas dengan pendekatan yang sesuai dengan
pendekatan nasional. Awalnya menggunakan model kepedulian sosial, Muhammadiyah
kemudian melibatkan diri dalam layanan sosial. Fikih Difabel mencerminkan
perubahan pendekatan Muhammadiyah menuju penerimaan hak bagi penyandang
disabilitas. Namun, implementasi nyata dan distribusi luas fikih ini perlu
langkah-langkah tambahan. Masih ada ruang untuk penelitian lebih lanjut terkait
implementasi fatwa dan kontribusi Muhammadiyah pada kebijakan publik.
Keterangan:
Artikel ini adalah ringkasan poouler dari artikel asli yang dimuat di IJIMS: https://ijims.iainsalatiga.ac.id/index.php/ijims/article/view/5993
Posting Komentar