مَكَانَةُ
الْمَرْأَةِ فِي الإِسْلامِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
MUQADDIMAH
Wanita dalam
Islam mendapat tempat yang mulia, tidak seperti dituduhkan oleh sementara
masyarakat, bahwa Islam tidak menempatkan wanita sebagai subordinat dalam
tatanan kehidupan masyarakat. Kedudukan mulia kaum wanita itu ditegaskan dalam
banyak hadis, di antaranya:
الْجَنَّةُ تَحْتَ
أَقْدَامِ الْأُمَّهَاتِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
"Surga
berada di bawah telapak kaki Ibu." (HR. Muslim)[1]
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ
صَحَابَةٍ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ
قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
وَمُسْلِمٌ)
"Seorang
sahabat datang kepada Nabi Saw.. Kemudian bertanya, "Siapakah manusia yang
paling berhak untuk dihormati?", Nabi menjawab, "Ibumu",
kemudian siapa Wahai Nabi?, "Ibumu" jawab Nabi lagi, "kemudian
siapa lagi Wahai Nabi?" “Ibumu" “kemudian siapa Wahai Nabi? "Bapakmu,"
jawab Nabi kemudian." (HR. Bukhari Muslim)
Islam memberikan
hak wanita yang sama dengan laki-laki untuk memberikan pengabdian yang sama
kepada agama, nusa, bangsa dan negara. Ini ditegaskan dalam al-Qur'an dan
al-Hadis antara lain sebagai berikut:
وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا
مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُوْلَبِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ
"Dan barang
siapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia
dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di
dalamnya tanpa hisab." (QS. al-Mukmin: 40)
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ
رَبَّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى
بَعْضُكُم مِّنْ بَعْضٍ
"Maka Tuhan
mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain." (QS. Ali Imran: 195)
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا
مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَوَةً طَيِّبَةٌ
"Barang siapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik." (QS. al-Nahl: 97)
إنَّ الْمُسْلِمِينَ
وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ
وَالْقَدِيمَتِ والصَّدِقِينَ وَالصَّدِقَاتِ وَالصَّبِرِينَ وَالصَّبِرَاتِ
وَالْخَشِعِينَ وَالْخَشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ
وَالصِّيمِينَ وَالصَّبِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ
وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم
مِّغْفِرَةٌ وَأَجْرًا عَظِيمًا )
"Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Ahzab: 35)
إِنَّ النِّسَاءَ
شَقَائِقُ الرِّجَالِ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَالتَّرْمِذِيُّ
"Sesungguhnya
perempuan itu laksana saudara kandung laki-laki." (HR. Ahmad, Abu Dawud
dan Tirmidzi)
النَّاسُ سَوَاسِيَةٌ
كَأَسْنَانِ الْمُشْطِ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو الزُّبَيْرِ
"Manusia itu
sama dan setara laksana gigi sisir." (HR. Ahmad dan Abu al-Zubair)
Ayat dan hadis di
atas adalah sebuah realita pengakuan Islam terhadap hak-hak wanita secara umum
dan anugerah kemuliaan dari Allah Swt. Persoalan yang muncul kemudian bahwa
sekalipun Islam telah mendasari penyadaran integratif tentang wanita tidak
berbeda dalam beberapa hal dengan laki-laki, pada kenyataannya prinsip-prinsip
Islam tentang wanita tersebut telah mengalami distorsi. Kita tidak bisa menutup
mata bahwa masih banyak manusia yang mencoba mengingkari kelebihan yang
dianugerahkan Allah Swt. kepada wanita.
Pengaruh kultur
yang masih bersifat patrilineal dan kenyataan pada tingkat perbandingan
proporsional antara laki-laki dan wanita ditemukan bahwa laki-laki (karena
kondisi, sosial dan budaya) memiliki kelebihan atas wanita. Yang pada
gilirannya telah menafikan atau mengurangi prinsip-prinsip mulia tentang wanita
yang kemudian menjadi prinsip- prinsip yang kemudian tidak diperhatikan. Oleh
karena itulah maka di tengah-tengah arus perubahan yang menggejala di berbagai
belahan dunia yang pada prinsipnya menuntut kembali hak-hak sebenarnya dari
wanita, maka umat Islam perlu meninjau dan mengkaji ulang anggapan- anggapan
yang merendahkan wanita karena distorsi budaya, berdasarkan prinsip-prinsip
kemuliaan Islam atas wanita.
Harus diakui
bahwa memang ada perbedaan fungsi laki-laki yang disebabkan oleh perbedaan
kodrati/fitri. Sementara di luar itu ada peran-peran non kodrati dalam
kehidupan bermasyarakat yang masing-masing (laki-laki dan perempuan) harus
memikul tanggung-jawab bersama dan harus dilaksanakan dengan saling mendukung
satu sama lain. Sebagaimana firman Allah Swt.:
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ
"Dan
orang-orang laki-laki dan perempuan sebagian mereka (adalah) penolong bagi
sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari
yang mungkar..." (QS. al-Taubah: 71)
Peran domestik
wanita yang hal itu merupakan kesejatian kodrat wanita seperti; sebagai
pendidik yang pertama dan utama bagi anak- anak mereka, hamil, melahirkan,
menyusui, dan fungsi-lain dalam keluarga yang memang tidak mungkin digantikan
oleh laki-laki, Firman Allah Swt.:
يَهَبُ لِمَن يَشَاءُ
إِنَثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ
"Dia
memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan
anak-anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki." (QS. As-Syura :49)
Dan Islam pun
telah mengatur hak dan kewajiban wanita dalam hidup berkeluarga yang harus
diterima dan dipatuhi oleh masing-masing (suami istri).
Akan tetapi ada
peran publik wanita, di mana wanita sebagai anggota masyarakat, wanita sebagai
warga negara yang mempunyai hak bernegara dan berpolitik, telah menuntut wanita
harus melakukan peran sosialnya yang lebih tegas, transparan dan terlindungi.
Dalam konteks
peran-peran publik menurut prinsip-prinsip Islam, wanita diperbolehkan
melakukan peran-peran tersebut dengan konsekuensi bahwa ia dapat dipandang
mampu dan memiliki kapasitas untuk menduduki peran sosial dan politik tersebut.
Dengan kata lain
bahwa kedudukan wanita dalam proses sistem negara-bangsa telah terbuka lebar,
terutama perannya dalam masyarakat majemuk ini, dengan tetap mengingat bahwa
kualitas, kapasitas, kapabilitas dan akseptabilitas bagaimanapun, harus menjadi
ukuran, sekaligus tanpa melupakan fungsi kodrati wanita sebagai sebuah
keniscayaan.
Partisipasi
wanita dalam sektor non kodrati merupakan wujud tanggung jawab NU dalam ikut
memprakarsai transformasi kultur, kesetaraan yang pada gilirannya mampu menjadi
dinamisator pembangunan nasional dalam era globalisasi dengan memberdayakan
wanita Indonesia pada proporsi yang sebenarnya.[]
Sumber:
Keputusan Munas Alim Ulama 1997 di Nusa Tenggara Barat
[1] Abdurrauf al-Munawi, Faidh al-Qadir,
(Riyadh: Maktabah al-Imam al-Syafi'i, 1988), Juz I, h. 966.
Posting Komentar