Menikmati "Normal"

Sambil melakukan penelitian di lapangan, jauh dari Jogja,  untuk sebuah riset tentang difabel, saya juga sedang menyiapkan sebuah riset tentang terjemahan al-Qur'an (lanjutan riset post-doc Isreal). Keduanya saya jalani dengan biasa saja. Tanpa beban, tanpa tekanan, tidak takut deadline, ya "normal" saja begitu. Boleh juga dibilang, saya sangat menikmati prosesnya! 

Saya katakan ini karena beberapa dosen yang saya kenal curhat, merasa seperti tertekan untuk melakukan proses-proses semisal ini. Kalau Anda termasuk mirip teman saya itu, izinkan saya cerita. 

Riset saya tentang difabel ini sudah saya kerjakan kira-kira 4-5 bulan sebelum ada pengumuman di Litapdimas atau kampus. Saya kerjakan tanpa saya peduli nanti ada anggaran atau tidak. Mengapa 4-5 bulan? Nggak penting angkanya, tetapi yang penting adalah: kita harus memulai riset ketika kita merasa perlu memulai riset. Titik. Bukan karena ada deadline, bukan karena ingin naik pangkat, bukan karena ingin cepat jadi GB, dan keinginan "duniawi" lainnya 

Sebab, bagi saya (ilmuwan humaniora), menulis proposal dan diajukan untuk cari dana riset itu hanya bonus. Kewajiban profesi kita memang meneliti. Ada atau tidak ada dana ya kita sudah digaji dengan kontrak tri-darma. 

Apalagi, investasi kita bukan di belanja barang, alat, dan laboratorium yang mungkin butuh dana besar. Investasi kita yang paling mahal adalah waktu! Tujuan kita bukan untuk menguji teori di lab, tetapi memahami secara mendalam fenomena yang kita teliti. Kata "mendalam" nggak akan pernah ketemu dengan "mendadak."

Riset yang sekarang saya lakukan, misalnya, mendapatkan dana ketika saya sudah sampai di tahap menulis draft artikel. Alih-alih presentasi proposal, reviewer saya pameri draft itu, saya tunjukkan data primer yang sudah saya koding, saya tunjukkan data yang akan saya lengkapi kalau saya dapat dana, saya tunjukkan prospek riset lanjutan kalau riset ini nanti selesai. 

Sebagai, reviewer, maaf, saya belum pernah ketemu peneliti yang begini!

Nah, makanya, sebelum penelitian saya ini jadi, saya sudah mulai lagi meneliti untuk topik lain. Investasi waktu! Sebab, saya butuh waktu untuk membaca semua artikel yang relevan dengan cermat, membaca apa yang sudah dikatakan para sarjana sebelumnya, mencatat pernyataan-pernyataan penting mereka, mengklasifikasikan bacaan sesesuai tema, mendokumentasikan di dalam reference manager, atau merangkum argumen  pokoknya, dst. Butuh waktu. Walupun saya hanya hendak menulis terjemah Jawa, misalnya, saya butuh waktu untuk membaca terjamah al-Qur'an ke sebanyak mungkin bahasa lain di dunia (yang sama belum tentu sama sekali akan jadi referensi nanti).

Nggak capek ta? Ya nggak, wong ini "normal" saja koq. Malah, (sekali lagi) saya sangat menikmatinya. Ilmu dari membaca tulisan-tulisan orang tentang sejarah penerjemahan al-Qur'an di Eropa, Afrika, sampai China dan Jepang itu bisa lebih banyak dari kuliah satu semester. Tidak dipakai di artikel pun ilmunya memperkaya sudut pandang dan analisis kita. Kalau kita tidak bisa menikmati ilmu dan prosesnya, ingin publikasi sehari jadi dengan kursus ke profesor nganu, untuk apa kita nganu...   




Post a Comment

Lebih baru Lebih lama