Fikih itu harus Berpihak!


Di tulisan sebelumnya (silakan baca di sini), dua poin sudah saya sampaikan terkait Fikih: pertama, Fikih itu ideologis, dan karena itu kita tidak bisa pura-pura “lugu” tanpa kepentingan; dan kedua, Fikih itu punya watak “formalis”, yang dapat dikonstruksi untuk mengabdi kepada kepentingan si Fakih. Saya ingin melanjutkan contoh betapa “formalis”nya Fikih untuk mengajukan argumen pembanding yang ditulis secara panjang lebar oleh Gus Ulil di Facebook (syarah dari tulisan pendek beliau di Kompas). Tujuan saya sekedar untuk menunjukkan bahwa kalau kaidah Fikih bisa digunakan untuk menjustifikasi tambang, demikian pula sebaliknya.

Saya juga ingin sampaikan notifikasi agar mereka yang tidak menyukai diskusi Fikih, tidak menganggap ini penting, tidak relevan, untuk tidak perlu repot-repot membaca. Paling Anda nanti akan komentar, “Urusan begini saja koq dibuat ndakik-ndakik.” Sudahlah, ini biar urusan kami dan masalah kami jika demikian. Anda tidak membaca, memilih demo di depan kantor PBNU juga boleh. Demikian juga yang ingin mendiskusikan isu ini di luar disiplin Fikih, monggo, silakan. Tetapi itu di luar kompetensi saya untuk berbicara dan merespon. Seperti saya sebutkan di awal tulisan pertama, saya hanya tertarik menulis isu ini ketika dibawa ke ranah Fikih. 

Saya akan coba merekonstruksi argumen Fikih Anti Tambang dengan metode dan kaidah yang sama dengan Gus Ulil:

  1. Menggunakan kaidah-kaidah Fikih
  2. Menggunakan apa yang beliau sebut sebagai “kalkulasi maslahat”

Kaidah Fikih

Untuk kaidah pertama, Gus Ulil memilih istishab. Ini adalah kaidah yang tidak bisa ditolak oleh Fakih mana pun. Tanpa perlu berbeda, kita hanya perlu merinci di sini antara “tambang” dengan “menambang”. Per KBBI, “tambang” adalah “tempat menggali (mengambil) hasil dari dalam bumi berupa bijih logam batu bara, dan sebagainya.” Sementara “menambang” adalah “perbuatan mukallaf” untuk menggali sesuatu dari dalam bumi. 

Kalau mau agak rinci diskusinya, Fikih sebenarnya mempunyai kategori hukum yang berbeda antara “zat” dan “perbuatan” ini. Kalau zat, kategori hukumnya dapat berupa najis, suci, mutanajjis, musta'mal, dan seterusnya. Kalau “perbuatan mukallaf” hukumnya ada lima: wajib, mandub, mubah, makruh, dan haram.

Artinya, apa yang berhukum asal mubah dalam kaidah "al-aslu  fi al-asya’ li al-ibahah" itu adalah “perbuatan menambangnya”; sementara zat “tambang” sebagai tempat menggali itu hukumnya “suci,” demikian pula zat batubaranya. Jadi, per kategori hukum zat, batubara itu tidak “halal” atau “haram”. Sama seperti anjing sebagai zat, ia tidak berhukum “halal” atau “haram.” Sebab, apa yang dihukumi “haram” adalah perbuatan mukallaf  untuk “mengonsumsi dagingnya”; sementara perbuatan untuk "memelihara anjing" dihukumi mubah. Hukum zat anjing menurut sebagian Fuqaha adalah najis; dan menurut sebagian yang lain hanya air liurnya yang najis. 

Sebenarnya, meskipun penting disebutkan, kaidah seperti ini biasanya di-skip dari pembahasan secara panjang lebar, karena sudah ma’lum bi al-daruri. Kita tidak perlu lagi bicara apakah hukum perbuatan “menjual” pada asalnya adalah “boleh,” sebab yang menjadi persoalan adalah pada rincian selanjutnya:  siapa yang menjual, apa yang dijual, kapan menjual. Bahwa “menambang itu boleh,” bukan jadi soal, ia tidak membuat perbuatan itu “mulia” atau “tidak mulia”, pro atau kontra. Demikian juga ketika suatu zat itu “suci” atau “najis”, ini tidak membuat sifatnya sebagai “anugerah” dan “laknat” pada zatnya. Kita sepakati saja secara netral bahwa “menambang batubara” itu hukumnya asalnya boleh (mubah). 

Kalkulasi Maslahat

Karena itu, tentu kita juga sepakat, yang menjadi soal dan kontroversi adalah di tafsil-nya. "The devil is in the details" ketika kita mengkalkulasi maslahat. Berbeda dengan Gus Ulil, saya kira bukan hanya pendekatan Fikih yang “mengkalkulasi maslahat.” Penolakan para aktivis lingkungan juga berangkat dari kalkulasi maslahat. Bedanya, mungkin, mereka tidak mengutip kaidah-kaidah Fikih. Jadi, izinkan saya memainkan peran sebagai aktivis lingkungan yang mengkalkulasi maslahat seperti para fuqaha di sini.

Kaidah pertama yang dikutip Gus Ulil adalah dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih, bahwa meninggalkan yang mafsadah lebih diprioritaskan daripada mengambil masalih (manfaat). Kalau kita melihat pertambangan secara umum saja, bukan case by case yang kalkulasi mafsadat-manfaat akan beda-beda, maka kita tahu bahwa tambang batubara secara umum itu membawa sekaligus manfaat dan mafsadat. Bukan “mafsadah versus mafsadah” (ta’arud bayn al-mafsadatain) seperti kalkulasi Gus Ulil. Sebab, Gus Ulil sendiri mengatakan berkali-kali (sebagai argumen pro tambang) bahwa batubara itu bermanfaat sebagai sumber energi. Lahirnya pro kontra menegaskan fakta bahwa pihak pro melihat masalih, sementara pihak kontra melihat mafasid

Berdasarkan kaidah dar’ul mafasid saja, sudah cukup sebenarnya bagi ahli Fikih untuk memutuskan siapa “pemenang” kontroversi ini. Meninggalkan mafasid batubara lebih utama daripada mengambil manfaatnya. Kita tidak perlu menggunakan kaidah ta’arud bayn al-mafsadatain, karena masalahnya bukan mafsadah versus mafsadah. Saya tidak paham mengapa di tulisan itu tiba-tiba Gus Ulil melompat ke kaidah "lesser evils" ini, sementara dar'ul mafasid disebutkan tetapi tidak diaplikasikan.

***

Maka, alih-alih mengunakan kaidah ta’arud bayn al-mafsadatain, kalkulasi maslahah selanjutnya yang perlu dilakukan (dan belum dilakukan Gus Ulil) adalah dengan menggunakan trilogi maqasid, yaitu:  daruriyat (necessities), hajiyat (needs), dan tahsiniyyat (luxuries) yang dibuat untuk membedakan tingkat urgensi suatu maslahah. 

Kemaslahatan yang daruriyat dirumuskan sebagai kemanfaat paling fundamental bagi umat manusia dan mencakup lima hal yang urutannya -- menurut al-Ghazali -- adalah: melindungi (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5)  kekayaan. Sedangkan manfaat yang bersifat hajiyat adalah hal-hal yang penting bagi manusia, tetapi tidak sampai ke level hidup dan mati. Misalnya perkawinan, perdagangan, dan transportasi. Sementara tashiniyat adalah hal-hal yang bersifat “kemewahan” (luxuries) yang keberadaanya diapresiasi, tetapi jika tidak ada juga tidak apa-apa sama sekali. Kalau transportasi itu hajiyat, naik mobil adalah tahsiniyat

Nah, berdasarkan trilogi ini kita ajukan pertanyaan: seberapa tinggi tingkat “manfaat batubara” itu? Meski sudah lama ditemukan dan digunakan di Cina dan Romawi kuno, manfaat terbesar batubara baru dirasakan setelah ditemukannya mesin uap. Batubara menjadi penggerak revolusi industri (dan tentu saja kapitalisme). Maka, batubara sangat bermanfaat, tetapi level manfaatnya tidak sampai daruri. Tanpa batubara pun umat manusia bisa hidup. Andai ada mesin waktu untuk menghilangkan batu bara di masa lalu, paling cuma revolusi industri yang berhenti dan dunia akan baik-baik saja. 

Manfaat batu bara, oleh sebab itu, tidak akan pernah "selevel" dengan manfaat “menjaga lingkungan hidup dan kehidupan” (daruriyat level 2) dan “kepentingan anak cucu kita” (daruriyat level 4). Manfaat batubara hanya ada pada level hajiyat.

Berbeda dengan konstruksi Fikih Tambang ala Gus Ulil, kesimpulan “kalkulasi maslahat” yang saya konstruksi menunjukkan bahwa batubara bukan energi yang daruri, tidak pakai batu bara pun kita masih dapat menggunakan sumber energi lain (matahari, air, angin yang melimpah), yang mungkin sudah cukup kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan yang daruriyat (agama, pendidikan, kesehatan, dan keberlanjutan spesies manusia). "Kerakusan" energi kita ini hari ini tidak bersumber dari hal-hal yang daruri

Kaidah ta'arud bayna al-mafsadatain baru bisa kita gunakan kalau kita dipaksa menerima fakta bahwa sumber energi dunia saat ini 80% lebih masih berasal dari bahan bakar fosil, yang secara urutannya: minyak bumi (31%), batubara (27%), dan gas alam (25%). 

Ketika kita belum mempunyai pilihan untuk migrasi sepenuhnya ke energi terbarukan, kita terpaksa untuk memilih di antara tiga sumber energi yang sama-sama evils: minyak, batubara, dan gas alam. Hasilnya? Menurut para ahli, "sayangnya" minyak bumi dan gas alam itu lesser evils dibandingkan dengan batubara. Jadi, sekali lagi, tidak ada dalil Fikih untuk batu bara.   

Fikih Sosial

Meskipun demikian, saya sepenuhnya setuju dengan Gus Ulil bahwa Fikih saja tidak cukup. Kesimpulan saya tadi bersifat dangkal, mono-disiplin, dan perlu Fikih Sosial. Istilah Fikih Sosial yang berkembang di NU pada dekade 80-90an dan populer melalui karya Kiai Ali Yafie dan Kiai Sahal Mahfudh ini sebenarnya adalah istilah “payung” untuk berbagai cara Fikih dalam melihat, merespon, dan menjawab masalah-masalah sosial, melampaui Fikih klasik seperti thaharah, salat, dan puasa. 

Buku Kiai Sahal -- yang terbit sebelum beliau akhirnya mendefinisikan Fikih Sosial saat pidato pengukuhan Doktor kehormatan di UIN Jakarta -- berisi berbagai topik aktual seperti pemberdayaan masyarakat hingga pajak dan prostitusi. Sementara buku kiai Ali Yafie, membahas berbagai topik seperti asuransi dan lingkungan hidup. Salah sekian dari benang merah pemikiran keduanya adalah tentang kontekstualisasi Fikih dan perlunya pendekatan multi-disipliner dalam “menghukumi” masalah-masalah sosial seperti tambang ini. 

Dengan kata lain, “Fikih Sosial” harus lahir dari berpikir secara “rombongan”, tidak sebatas individual. Pandangan Gus Ulil semata tidak cukup, pandangan saya semata, apalagi. Fikih Sosial memerlukan pendekatan multidisipliner yang meniscayakan keterlibatan banyak orang dari berbagai disiplin ilmu. Para ahli Fikih di Bahtsul Masail NU biasanya juga mengundang para pakar di bidang dan topik yang dibahas dalam mengkalkulasikan maslahat dan madarat.

Di luar urusan “otoritas keilmuan”, saya sendiri ingin menambahkan bahwa Fikih Sosial itu fikih yang “berpihak”. Saya dapat menyebut “Fiqih Mubadalah” kiai Faqih itu misalnya. Fikih beliau itu berpihak kepada perempuan, atau minimal berpihak untuk melawan asimetrisme dalam struktur sosial yang patriarki. Saya juga bisa mencontohkan Fikih Difabel yang disusun oleh NU secara berjamaah itu sebagai Fikih yang berpihak kepada penyandang disabilitas. 'Ala kulli hal, kita juga bisa mengambil contoh “Fikih Lingkungan” (bukan Fikih Tambang)  yang digagas kiai Ali Yafie sebagai fikih yang berpihak kepada lingkungan. Fikih-fikih sosial ini dibangun dengan ideologi yang jelas dan keberpihakan yang tidak ditutup-tutupi.

Kalau perempuan “dipihaki” karena mereka telah lama menjadi korban laki-laki, kaum difabel "dipihaki" karena mereka menjadi korban diskriminasi, dan Fikih Lingkungan membela kelestarian lingkungan yang selalu dikalahkan oleh developmentalism dan pertumbuhan ekonomi. Maka, kira-kira, Fikih Tambang berpihak kepada siapa?

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama