Fikih itu Ideologis!




Tulisan Gus Ulil Abshar  Abdalla di Kompas dan Facebook dapat dikomentari dari berbagai sudut pandang. Analisis paling tepat sebenarnya kalau kita telanjangi relasi kuasanya. Isu "tambang untuk ormas" ini, seperti sudah dikatakan oleh banyak orang, paling fundamental adalah soal kuasa dan kekuasaan. Titik. Lainnya hanya aksesoris. 

Maka, saya sebenarnya tidak ingin ikut berbicara, karena saya ini jirih kalau berbicara tentang kekuasaan. Tetapi, karena urusan "tambang untuk ormas" itu dibawa-bawa ke Fikih oleh Gus Ulil, tidak ada salahnya kalau saya ikut menyumbang catatan. Saya ingin mengkritik dari dua kacamata saja: kritik epistemologis dan kritik metodologis (di tulisan kedua).

Secara epistemologis, Gus Ulil memisahkan antara "cara pandang Fikih" dan "cara pandang ideologis" dalam melihat persoalan tambang. Para aktivis lingkungan, katanya, memandang batubara dengan pandangan yang kotor, demonizing (ia gunakan istilah “vilifikasi”). Sementara bagi para kiai NU, "Soal ini … bukan soal ideologi, melainkan masalah fikih (hukum Islam). Cara pandang fikih secara garis besar adalah melihat segala soal tidak dalam kerangka hitam putih, melainkan menimbang berdasarkan kalkulasi maslahat (well-being) bagi sebesar-besar rakyat."

Kalau kita cermati pernyataan ini, apa yang ia sebut sebagai "ideologi" vis-a-vis "Fiqih" itu adalah cara pandang yang ia anggap "hitam-putih," sementara Fiqih itu "kalkulasi maslahat" atau mungkin lebih pragmatis. bagi saya, ini adalah simplifikasi "ideologi" yang dilakukan Gus Ulil bukan karena ia tidak tahu, tetapi justru karena tahu persis cara rumit kerja-kerja ideologi. Siapa bisa percaya Fiqih tidak punya ideologi? Nasr Hamid Abu Zaid, misalnya, pernah secara detail menguliti ideologi Usul Fikih al-Syafi’i dalam bukunya, Al-Imam as-Syafi'i wa Ta'sis al-Aidulujiyah al-Wasathiyah. Menurut Abu Zaid, “quatrologi” (Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas) sesungguhnya menyimpan di dalamnya ideologi “moderatisme.” 

Usul Fikih Imam al-Syafi’i dan Mutakallimin, yang berbasis lingusitik, kuat dengan pendekatan al-mabahits al-lughawiyyah, menyimpan agenda ideologis Arabisme. Orang dipengaruhi untuk percaya  bahwa khitab Tuhan itu 'arabiyah dan hanya bisa dipahami dengan benar kalau menggunakan kaidah-kaidah linguistik bahasa Arab. Di balik apa yang kelihatannya netral dan masuk akal itu, padahal, tersimpan ideologi untuk mengukuhkan hegemoni Arab dan Quraisy. 

Maka, "kalkulasi maslahah" yang disebut Gus Ulil sebagai pendekatan yang membedakan para Fakih dengan aktivis lingkungan itu juga ideologis. Apalagi jika mengingat bahwa maslahah sendiri adalah teori “payung” yang sangat luas, yang di dalamnya tercakup detil-detil teori lainnya yang secara metodologis dan apalikasinya akan lebih “arbitrer” daripada, misalnya, teori Qiyas. Qiyas itu definisinya simpel, mudah disepakati, jumlah rukunnya jelas, dan hanya ketika bicara ‘illat saja agak terbuka berbagai interpretasi. 

Sebaliknya maslahah, mulai dari definisi, kriterianya -- apakah mau dibagi dua (mursalah dan mulghah), atau tiga (daruriyyah, hajiyah, dan tahsiniyyah), sampai dengan dimensi-dimensi maqasid (mau pakai model lama yang lima, atau enam, atau tambahan versi Kiai Ali Yafi, dst), semua “terbuka” akan tafsir. Keterbukaan yang menurut saya membuat maslahah itu metode istinbath paling "arbitrer," yang membuat Fikih itu fleksibel sekaligus "suka-suka." 

Paling berbahaya adalah kalau maslahah digunakan sebagai “bungkus” ideologis, kendaraan status quo dan elit sebagai “kepentingan umum.” Coba, Anda tebak, siapa yang paling bisa mengklaim "kepentingan umum” itu dalam sistem hukum dan politik Islam yang “elitis” (tidak semua qualified menjadi mujtahid) dan tidak demokratis? 

"Kepentingan umum" itu kira-kira artinya kepentingan rakyat biasa atau elit ulama yang dekat dengan kuasa? (Eh. nggak boleh masuk ke analisis kuasa ya?😃).

Contoh konkret. Kalau ada kepentingan adat atas hutan dan pantai lestari (“hanya” menjadi sumber penghidupan rakyat di suatu tempat) dan dihadapkan kepentingan investor yang menjanjikan ekonomi tinggi bagi pemerintah pusat, kira-kira yang akan disebut sebagai “kepentingan umum” adalah kepentingan siapa? Kalau ada kepentingan jangka panjang lingkungan yang menopang mata rantai kehidupan dan keanekaragaman hayati versus hasil ekonomi jangka pendek tetapi dengan angka rupiah yang fantastis, “kepentingan umum” siapa yang akan dimenangkan? Seberapa sering, dulu dan mungkin sekarang, rakyat menjadi korban rejim otoriter yang menggusur demi "kepentingan umum" atau membungkam lawan karena dituduh mengganggu "kepentingan umum"?

Maka, akankah ada maslahah nir ideologi? Apakah hanya aktivis lingkungan yang punya ideologi sementara para pemilik “kapital” itu tidak? Sejak kapan eksploitasi sumber daya alam dengan tujuan-tujuan investasi, ekonomi, bisnis, tidak digerakkan oleh ideologi? Apakah kita pura-pura tidak tahu?

Di samping itu, kita perlu menggarisbawahi kritik Kiai Sahal bahwa Fikih itu punya watak yang "formalistik," dan karena itu rentan untuk disiasati (hilah). Siapa yang paling bisa mensiasati? Tentu saja ahli Fikih! Mungkin Anda pernah dengar saat Ngaji Ihya' tentang kisah bagaimana Abu Yusuf, salah satu ahli fikih, murid Abu Hanifah, yang menghibahkan harta kepada istrinya menjelang haul (syarat kepemilikan setahun) agar terhindar dari kewajiban zakat mal. Secara Fikih tindakan itu sah, walaupun tidak bermoral! 

Bayangkan, ulama sekelas Abu Yusuf saja bisa meng-hilah-i kewajiban zakat demi kepentingan ekonominya, apalagi kiai langgar pengurus MWC NU seperti saya. Intinya, Fikih itu ideologis (menyimpan kepentingan) sejak zaman Syafi’i yang imam dan tetap idologis hingga zaman Syafi’i yang Ma’arif!

Bersambung ke tulisan kedua: Fikih itu berpihak.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama