Karpet Merah untuk Professor


Di sebuah acara pernikahan, saya ikut antri dengan rombongan undangan yang lain. 𝐴𝑚𝑜𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑚𝑢 di dekat saya mengatakan, "𝑀𝑜𝑛𝑔𝑔𝑜 bapak ibu, silakan dahar dulu saja antrian salaman masih panjang."

Beberapa orang mengiyakan anjuran itu. Saya tengok ke istri, "Aku masih kenyang. Kita terus antri ya." Mbak Bojo setuju. Walaupun acaranya "walimangan", tujuan kami bukan makan.

Antrian memendek karena berkurang oleh mereka yang pilih makan duluan. Saya lihat di depan saya ada salah satu pegawai tendik UIN yang saya kenal. Sambil mendekat, saya jawil dari belakang antrian, "Sehat Pak?"

Ia menengok dan setengah kaget, "Duh, Prof. Monggo 𝑛𝑗𝑒𝑛𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 langsung maju saja. Masak profesor ikut antri di sini," katanya sambil berusaha keras melukir posisi di belakang saya.

Tak kalah cepat, saya lukir kembali posisi antrian. "Ah, 𝑚𝑏𝑜𝑡𝑒𝑛 pak. Tidak apa-apa antri. 𝑁𝑗𝑒𝑛𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑚𝑜𝑛𝑔𝑔𝑜 di depan." kami kembali ke posisi semula dan berjalan pelan menuju pelaminan di jalur yang sama, meski ada karpet merah kosong di sebelahnya. 

***

Di acara-acara sosial seperti itu, saya sering gagal paham mengapa undangan perlu dibagi dua kelas. Ada yang di VIP, ada yang di umum. Saya tidak tahu persis apa yang menjadi kategori diskriminasinya. Saya duga bukan karena amplop sumbangan yang dibawa (kategori yang harusnya lebih penting dari yang lain kan? 😆)

Satu kategori (dari kategori lain yang boleh Anda tambahkan di komentar) yang saya lihat itu pasti: jabatan struktural di kantor. Hanya karena orang menjabat, ia di-VIP-kan: satu cara pandang "feodal" yang melihat pejabat sebagai 𝒏𝙙𝒐𝙧𝒐, dan bukan pelayan publik yang digaji oleh pajak rakyat.

Hal yang belum saya pernah lihat dan lebih terhormat: menyediakan "ruang makan prioritas." Bagi siapa? Bagi undangan sepuh, wanita hamil, dan penyandang disabilitas. Sebuah pesta walimahan yang inklusif!

***

Guru besar itu bukan gelar akademik tertinggi, ia cuma jabatan fungsional terakhir dari jenjang karier seorang dosen. Ia harusnya tidak berfungsi apa pun di luar struktur akademik. Ia bukan sesuatu yang perlu dirayakan dan dibanggakan. Gelar semata juga tidak perlu menjadi alasan untuk kehormatan. Kehormatan itu harusnya diberikan kepada ilmunya (bergelar atau tidak), kepada integritasnya, dan sebagai imbalan atas kehormatan yang ia berikan kepada Anda. 

***

Kalau ada yang kenal redaktur Tempo yang membuat kalimat ini di editorialnya, sampaikan salam hormat saya. Tulus, ingin saya peluk hangat untuk pesan terhormat yang ia tuliskan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama