Minggu lalu, anak saya ada janji bertemu dengan temannya untuk membeli buku di Gramedia. Karena itu, saya izinkan dia berangkat bersama saya dengan mobil jemputan dari kantor. Setelah menunggu sekitar sejam di kantor dan tiba waktunya untuk pergi, saya tunjukkan caranya menuju Gramedia dari FDK.
Dari jendela kantor saya di lantai dua, saya bilang, "Nanti, kamu turun di pintu FUPI, ya. Jalan ke arah gerbang hijau yang hanya dibuka untuk pejalan kaki itu, lalu belok ke kanan. Sesampainya di lampu merah, kamu menyeberang. Hati-hati dengan kendaraan dari kananmu. Penyeberangan itu di jalur belok kiri jalan terus..."
Salah satu staf yang melihat percakapan kami bertanya, "Mau ke mana, Pak?"
Saya jawab, "Ke halte Transjogja, pergi ke Gramedia."
Staf saya itu lalu mengusulkan agar anak saya diantar ke sana oleh sopir fakultas, "Lha, biar diantar sama Mas Pram saja, Pak!"
Saya tidak butuh waktu lama untuk menjawab usulan itu, "Anakku itu bukan dekan FDK, Om! Ia tidak berhak menggunakan fasilitas dinas. Dan yang lebih penting, ia harus belajar hidup. Ia harus tahu cara menavigasi mobilitas, memahami risiko berjalan dan menyeberang di jalan raya, belajar sabar menunggu jadwal bus, serta menyadari bahwa dirinya itu manusia seperti manusia lainnya."
***
Tak lama setelah peristiwa itu, saya menonton komentar kritis salah satu Youtuber, mantan PNS Kemenkeu, tentang kenaikan PPN. Ia kurang lebih mengatakan begini, "Di negara lain, pajak naik untuk meningkatkan fasilitas publik. Di kita, pajak naik untuk meningkatkan fasilitas pejabat!"
Ia menyebutkan enaknya pejabat di Indonesia. Kalau di negara lain pejabat bergaji tinggi dikenai pajak progresif yang tinggi, di Indonesia, semua fasilitas hidup diberikan oleh negara tanpa bayar pajak! Ia mencontohkan fasilitas rumah dinas yang dibiayai sampai ke listrik dan airnya, serta mobil dinas yang pajaknya dibayarkan oleh negara.
Sebagai mantan PNS, ia tak lupa mengatakan bahwa kenikmatan itu hanya untuk para pejabat. Sangat timpang dibandingkan dengan PNS biasa yang kadang pas-pasan hanya untuk hidup. Intinya, ia mengatakan bahwa APBN itu kelihatannya banyak dibelanjakan untuk "pegawai," tetapi sebenarnya lebih besar dialokasikan untuk "pegawai yang menjabat" daripada untuk umumnya pegawai.
***
Kisah saya dan anak saya itu mungkin hal yang remeh temah saja bagi sebagian orang, tetapi kenyataannya memang banyak pejabat yang sering tidak bisa (atau tidak mau?) membedakan mana urusan dinas dan mana yang bukan. Coba, seberapa sering kita melihat mobil dinas berlalu-lalang di akhir pekan menuju tempat wisata? Seberapa banyak yang "memperluas" fasilitasnya untuk anak dan istrinya? Kalau Pak Prabowo ingin menambal yang bocor-bocor, fasilitas para pejabat itu adalah salah satu yang harus ditangani.
Posting Komentar