اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا يُوَافِي نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَه، يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلَالِ وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ وَلِعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ. سُبْحَانَكَ اللّٰهُمَّ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَصَفِيُّهُ وَخَلِيْلُه. خَيْرَ نَبِيٍّ أَرْسَلَهُ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا إِلَى الْعَالَـمِ كُلِّهِ.
اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً وَسَلَامًا دَائِمَيْنِ مُتَلَازِمَيْنِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْن. أَمَّا بَعْدُ فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ: رَبِّ هَبْ لِي حُكْمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ، وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ
Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan Allah.
Seperti kita ketahui bahwa pada zaman Orde Baru, negara pernah menjadi alat untuk mengekalkan kekuasaan perorangan. Pemerintah Orde Baru berusaha keras menguasai segala sendi kehidupan di negeri ini. Mulai dari ruang-ruang politik hingga ke ruang-ruang publik. Partai-partai disederhanakan. Partai-partai Islam dikerdilkan menjadi satu dalam Partai Persatuan Pembangunan. Organisasi profesi dan buruh disatukan dalam wadah-wadah tunggal seperti PWI untuk wartawan atau PGRI untuk guru. Pengaruh organisasi Islam juga coba ditandingi dengan pendirian Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menjadi tukang stempel kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkait dengan umat Islam.
Upaya demikian berlangsung dari pusat hingga ke berbagai pelosok negeri. Desa tempat asal saya di Jawa Timur, dapat menjadi salah satu contoh bagaimana ketegangan Orde Baru dan Islam itu terasa sangat dekat. Para tokoh agamanya tidak hanya secara verbal diintimidasi, tetapi juga tidak jarang ditangkap dan digebuki. Madrasah-madrasah tempat umat menyiapkan kadernya, disaingi dengan sekolah-sekolah negeri atau penegerian sekolah swasta yang mau berafiliasi ke kekuasaan Orde Baru. Jangankan dibantu untuk maju, madrasah-madrasah ini seperti sengaja dimatikan agar tidak menjadi basis oposisi terhadap pemerintah yang ingin berkuasa abadi.
Potongan sejarah ini terpaksa saya kutip di mimbar khutbah ini untuk menjadi pengingat kita bahwa potensi untuk lahirnya kekuasaan yang korup dan menyimpang akan selalu datang, entah kapan waktunya. Oleh sebab itu, seperti pada dekade 70an - 90an tadi, ada kalanya masyarakat sipil atau umat Islam khususnya, harus berada berseberangan dengan kekuasaan yang korup.
Satu pelajaran berharga yang ingin saya garis bawahi dari periode kelam sejarah Indonesia itu adalah bahwa kekuatan umat Islam untuk lepas dari kekuasaan yang hegemonik lahir bukan semata karena keberanian para tokohnya, tetapi yang tidak kalah penting adalah peran ajaran Islam tentang filantropi: yaitu, kewajiban membayar zakat dan anjuran untuk memperbanyak sedekah, infak, dan wakaf. Dari sumber-sumber finansial inilah umat bisa mendirikan pesantren tanpa subsidi sepeser pun dari pemerintah. Dengan dana filantropi, organisasi Islam seperti NU (yang waktu itu berseberangan dengan Soeharto) bisa berdiri tegak melawan kooptasi.
Saya masih ingat bagaimana madrasah tempat saya mencari ilmu, hidup dari gotong royong umat Islam di desa kami. Waktu itu, hampir setiap keluarga memiliki pohon kelapa di kebun atau halaman rumah. Mereka mewakafkan satu atau dua pohon kelapa untuk menjadi salah satu sumber dana operasional madrasah. Jelas terekam dalam ingatan kecil saya ada plat-plat seperti plat nomor kendaraan yang ditempel ke pohon kelapa bertuliskan “Wakaf untuk madrasah Darul Huda”. Sementara kegiatan filantropi yang lain, seperti zakat, infaq, dan sedekah, juga berhasil dihimpun untuk mendirikan sebuah panti asuhan anak yatim, “Darul Aitam.”
Bayangkan, dengan dana filantropinya, umat tidak hanya bertahan melawan kooptasi Orde Baru, tetapi juga mampu menandingi negara yang tidak hadir dalam memberikan layanan sosial seperti panti asuhan. Hadirin yang dimuliakan Allah, apa yang ingin saya sampaikan dari potongan kisah sejarah politik itu?
Pertama, kita tidak boleh sepenuhnya husnu zhan terhadap kekuasaan. Kalau Lord Acton dari Inggris mengatakan, "Power tends to corrupt", kekuasaan itu punya kecenderungan menyeleweng, Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
"إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الأَئِمَّةُ الْمُضِلُّونَ"
(Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan) (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi). Nabi dengan bijak sudah melihat ke depan bahwa kekuasaan itu tidak akan selalu baik-baik saja. Ada kalanya kekuasaan itu sesat dan menyesatkan. Sementara Khalifah Umar bin Khattab di dalam berbagai riwayat disebutkan pernah berkata:
"إِذَا فَسَدَ الْعُلَمَاءُ فَفَسَدَتِ الرَّعِيَّةُ، وَإِذَا فَسَدَ الْأُمَرَاءُ فَفَسَدَتِ الْأُمَّةُ"
(Jika para ulama rusak, maka rakyat akan rusak. Dan jika para penguasa rusak, maka seluruh umat akan rusak). Ucapan ini telah terbukti berulang-ulang dalam sejarah, kalau ulamanya rusak, maka masyarakat akan rusak. Karena ulama adalah penjaga moral masyarakat. Kalau penguasanya rusak, maka biasanya korbannya adalah umat, ditindas oleh penguasa yang korup.
Kedua, dana filantropi umat harus tetap dikelola oleh umat sendiri. Zakat, infak, dan sedekah harus difokuskan untuk membangun kemandirian umat, bukan disalurkan untuk program pemerintah yang belum tentu sejalan dengan kebutuhan umat. Jangan sampai dana ini jatuh ke tangan yang tidak berhak, sementara umat sendiri masih banyak yang membutuhkan.
Karena itu, aneh sekali ketika seorang petinggi Baznas menawarkan dana zakat untuk membantu program makan siang gratis pemerintah. Menurut saya, ini bukan hanya perkara fikih zakat salah sasaran; tetapi yang lebih penting dan substansial adalah: jangan menyerahkan sumber daya kemandirian umat kepada negara, sementara urusan umat sendiri masih banyak yang belum ditangani. Apakah para guru ngaji yang mendidik anak-anak kita sudah cukup diopeni? Apakah madrasah dan pesantren kita sudah sedemikian maju kompetitif sehingga kita mengurusi sekolah-sekolah pemerintah?
Catatan ini sama sekali bukan himbauan untuk tidak membantu pemerintah. Sebagai rakyat kita ini sudah membantu pemerintah dengan taat membayar pajak. Kalau zakat hanya 2,5% dari penghasilan, kita sudah menyumbang negara kita dengan PPH 10-15%. Cara kita membantu pemerintah, oleh sebab, bukan lagi dengan cara berdonasi, tetapi kontrol agar uang rakyat dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat, bukan dikorupsi para pejabat.
Hadirin sidang jumat yang dimuliakan Allah,
Semoga pengisahan kembali potongan sejarah tadi menjadi pelajaran berharga bagi kita agar berhati-hati mengelola amanah umat, tidak sembarangan dan malah merugikan umat. Zakat adalah pilar pemberdayaan umat, amanat dari umat yang harusnya disalurkan kepada kepentingan umat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا"
(Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya) (QS. An-Nisa: 58).
أقول قولي هذا وأستغفر الله لي ولكم ولسائر المسلمين من كل ذنب فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.
Posting Komentar