Disklaimer: Saya bukan ahli ekonomi, bukan manajemen, bukan menteri kekuangan, bukan orang Bappenas. Tetapi saya ingin mengkritik orang-orang pintar itu dengan menggunakan dasar pengalaman saja. Jadi, kalau nanti ada yang bilang, "ya teorinya memang seperti yang Anda katakan, hanya praktiknya memang tidak..." maka Anda tahu bahwa saya tidak tahu teori, apa yang saya kritik adalah apa yang terjadi di lapangan.
Kata kunci yang ingin saya bahas adalah "serapan". Sejak pertama, sekian tahun lalu, saya mengenal dunia penganggaran, kata ini menjadi "mantra" para pejabat. Lugu saya tanya dulu, "Mengapa kalau anggaran bisa dihabiskan malah berprestasi?"
Bos saya waktu itu menjawab, dan itu jawaban yang sering saya dengar dari semua orang, "Kemampuan menyerap anggaran menunjukkan kemampuan perencanaan yang baik." Kalau sebuah unit tidak mampu menghabiskan anggaran, berarti perencanaannya buruk! Tahun depan, anggaran pasti diturunkan sebagai "hukuman."
Maka, logika inilah yang melahirkan jor-joran kegiatan pada triwulan akhir tahun. Hotel-hotel sesak dengan acara KL (kementerian dan lembaga). Acara apa? Apa pun judul backdrop-nya, apa pun nama KL-nya, acaranya cuma satu: "MENGHABISKAN ANGGARAN."
Saya dengar semalam di Youtube, kata Hasan Nasbi, inilah salah satu alasan mengapa Pak Prabowo "memangkas" anggaran. Jadi, karena KL punya kebiasaan "menghabiskan" anggaran dengan cara yang dinilai mubazir oleh presiden dan tim, maka dipangkaslah anggarannya agar tidak banyak mubazir. Dalam satu dan lain perkara, saya setuju bahwa praktik "menghabiskan anggaran" di akhir tahun itu buruk. Tetapi, bukan begini cara menyelesaikannya.
Penumpukan itu, selain karena anggaran memang tidak bisa cepat dicairkan di awal tahun (ini Februari saja kita masih ribut dan belum memiliki anggaran yang pasti), terjadi juga karena cara mengevaluasi anggaran yang keliru, yaitu evaluasi berbasis SERAPAN ANGGARAN! Ya, karena "menyerap" itu sama dengan "menghabiskan". Maka apa yang salah jika KL berlomba menghabiskan anggaran di akhir tahun? Nggak ada!
Nah, ini usulan saya. Kita ubah ukuran evaluasi itu bukan dengan serapan anggaran, tetapi keluaran dan capaiannya. Alih-alih menghukum KL yang anggarannnya tidak terserap, KL yang berhasil memenuhi indikator capaian dan keluaran tanpa menggunakan anggaran sebanyak yang direncanakan harus diberi penghargaan.
Contoh. Dekan Fakultas Dakwah ditarget mampu mengakreditasikan 5 prodi dengan biaya Rp500 juta. Pada akhir tahun dievaluasi, yang pertama dan terpenting, apakah kelima prodi sudah terakreditasi? Apakah targetnya sudah dicapai? Jika sudah, baru pertanyaan ke anggaran, berapa anggaran yang digunakan untuk akreditasi 5 prodi? Kalau dia hanya menggunakan Rp250 juta untuk mencapai target itu, ya dia harus diapresiasi! Bukan malah dihukum karena serapan anggarannya cuma 50%!
Menurut saya, itulah definisi "efisiensi" yang sesungguhnya! Bukan cuma soal pangkas aggaran membabi buta di awal tahun. Efisiensi itu "menggunakan anggaran sekecil-kecilnya untuk target mencapai target sebanyak-banyaknya.".
Posting Komentar