Khutbah Idul Fitri 1446 H



 اللهُ أَكْبَرُ (×٣) اللهُ أَكْبَرُ (×٣) اللهُ أَكْبَرُ (×٣) وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ; اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَالحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا، لاَ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ لَاإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلاَّ إِيّاَهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْكَرِهَ الكاَفِرُوْنَ  

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ حَرَّمَ الصِّياَمَ أَيّاَمَ الأَعْياَدِ ضِيَافَةً لِعِباَدِهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إلا الله وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ الَّذِيْ جَعَلَ الجَنَّةَ لِلْمُتَّقِيْنَ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِيْ إِلىَ الصِّرَاطِ المُسْتَقِيْمِ. 

اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَباَرِكْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّـدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحاَبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنَ   أَمَّا بَعْدُ، فَيَآ أَيُّهَا المُؤْمِنُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ. وَاتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقاَتِهِ وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. قال الله تعالى: الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ 

Hadirin Jamaah Idul Fitri yang dirahmati Allah,

Hari ini kita merayakan salah satu hari besar umat Islam, ‘Idul Fiṭri! Hari raya terbesar dalam tradisi umat Islam di Indonesia. Meski secara bahasa hari raya “Idul Fitri” lebih tepat disebut sebagai hari raya “berbuka” (fitr), penanda berakhirnya ibadah puasa di bulan Ramadan,  tetapi kita juga dapat memaknainya sebagai perayaan kembali kepada “fitrah”. 

Imam al-Ghazali dalam kitab Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn menjelaskan bahwa puasa Ramadan bukan sekadar ibadah untuk menahan lapar dan dahaga, tetapi adalah lelaku lelatih spiritual yang dapat mengembalikan manusia kepada jiwa aslinya yang murni, yang mengenal Allah, menjauhi syahwat, dan mencintai kebenaran, yang dalam Al-Qur’an (Ar-Rum: 30) disebutkan sebagai:

فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا

(Fitrah Allah yang menjadi dasar penciptaan manusia) 

Hadirin yang Dirahmati Allah,

Ibn Rajab al-Hanbali dalam kitab Laṭā’if al-Ma‘ārif menggambarkan Idul Fitri sebagai hari pembagian hadiah dari Allah SWT. Hadiah ini bukan berupa pakaian baru, bukan sepatu baru, bukan kendaraan baru, tetapi berupa ampunan dan kembalinya manusia kepada jiwa yang luhur. Karena itu, Idul Fitri bukan hanya tentang kemenangan atas diri sendiri, tetapi juga tentang kesiapan untuk kembali menjadi manusia seutuhnya—yang ramah, jujur, rendah hati, dan suka membantu sesama, manusia yang sebaik-baiknya yang oleh Rasulullah ﷺ disifatkan sebagai

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”

Inilah fitrah yang sejati: kembali kepada kemanusiaan, kepada kepedulian sosial. “Kefitrahan/kemanusiaan” inilah yang sering kita lewatkan ketika agama lebih kita pahami dalam aspek-aspek formalitasnya saja. Misalnya, ketika mendefinisikan “Islam”, kita mengukurnya dengan rukun Islam yang lima. Siapakah orang Islam? Orang yang bersyahadat, salat, zakat, puasa dan haji. Demikian juga ketika kita mendefinisikan “iman’. Siapakah orang yang beriman? Orang yang beriman kepada Allah, Rasulullah, malaikat, kitab-kitab suci, hari akhir, serta qada dan qadar.

Tentu, tidak ada yang salah dengan cara mendefinisi yang demikian itu, karena memang demikianlah pokoknya, rukun Islamnya, dan rukun imannya.  Tetapi menjadi muslim dan mukmin itu memerlukan kita untuk berperilaku yang mencerminkan pokok-pokok tersebut, yang menjadi cabang dari pokok-pokok itu. 

Nabi saw bersabda:

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ

"Iman itu memiliki lebih dari enam puluh cabang. Yang paling utama adalah ucapan: Lā ilāha illā Allāh, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.

Dalam hadits disebutkan, Rasulullah bersabda:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Muslim adalah orang yang orang lain selamat dari lisan dan tangannya.”

Dan dalam riwayat lain:

الْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ

“Mukmin adalah orang yang orang lain itu merasa tenang ketika mereka memberinya amanah untuk melindungi nyawa dan harta mereka.”

Hadirin yang dirahmati Allah

Jika kita menyimak dua Hadits tersebut, ada beberapa hal yang dapat kita ambil sebagai pelajaran tentang “fitrah” seorang Muslim dan Mukmin:

1. Fitrah itu bukan hanya soal “suci dari dosa”, tapi juga soal akhlak dan relasi sosial. Hadits pertama menyebut bahwa seorang Muslim adalah yang lisan dan tangannya tidak membahayakan orang lain. Sedangkan Hadits kedua menegaskan bahwa seorang Mukmin adalah orang yang bisa dipercaya untuk menjaga nyawa dan harta orang lain. Artinya, identitas Muslim dan Mukmin sejati ditentukan oleh sejauh mana dirinya aman dan memberi rasa aman kepada orang lain. 

2. Dalam dua Hadits ini, Rasulullah tidak lagi menyebut rukun Islam atau rukun iman sebagai tolok ukur langsung keislaman dan keimanan seseorang. Yang beliau sebutkan justru etika sosial dan kontribusi terhadap lingkungan sekitar. Maka, kembali ke fitrah berarti kembali menjadi manusia yang tidak menyakiti, tidak merugikan, dan tidak membuat orang lain takut atau gelisah karena keberadaannya.

3. Fitrah adalah titik awal dan tujuan akhir: jiwa yang damai dan mendamaikan. Setiap manusia lahir dalam fitrah—yakni jiwa yang cenderung kepada kebaikan, kejujuran, dan kasih sayang. Dua Hadits ini mengajarkan bahwa Muslim sejati adalah: tidak melukai lewat kata-katanya (lisan), tidak merusak lewat tindakannya (tangan), dan dapat dipercaya untuk menjaga nyawa dan harta orang lain (amanah sosial). Maka Idul Fitri sebagai “kembali ke fitrah” adalah kembali ke keadaan jiwa yang tidak menebar bahaya, tidak menebar ketakutan, melainkan menjadi sumber kedamaian dan keamanan.

اللهُ أَكْبَرُ ٣× لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ   

Ma’āsyiral Muslimīn wal Muslimāt, jama’ah shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah,

Demikian khutbah Idul Fitri yang dapat disampaikan. Semoga apa yang telah kita dengar dan renungkan bersama mampu menggugah hati dan membimbing langkah kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Semoga Allah menjaga kesucian diri yang telah kita raih selama Ramadan ini, dan menjadikan kita seperti bayi yang baru dilahirkan: bersih, tulus, dan penuh harapan. 

Āmīn Yā Rabbal ‘Ālamīn.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama