𝐊𝐢𝐬𝐚𝐡 𝐀𝐦𝐩𝐮𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐀𝐧𝐠𝐠𝐚𝐫𝐚𝐧!


Apa yang saya tulis berikut semoga sampai ke Jakarta. Biar Bu Sri ngerti dan tidak bikin omon-omon klarifikasi bahwa anggaran untuk dunia pendidikan baik-baik saja! Bu Sri boleh bilang UKT tidak akan naik, boleh bilang yang dipotong "cuma" seremoni, ATK, dan perjalanan dinas, bla bla bla. Kenyataannya? Anggaran fakultas saya turun drastis dari Rp6,4 miliar tahun lalu menjadi hanya Rp1,3 miliar tahun ini. Presiden bisa saja ngomong atas nama efisiensi, tetapi yang kami alami adalah amputasi!

Jadi, begini ceritanya. Kementerian Agama memangkas anggaran tanpa (sempat) mengecek kondisi di bawah. Ketika presiden memerintahkan efisiensi 14 T di Kemenag, ya praktiknya dipotong begitu saja. Ini bukan soal Kemenag tidak peduli ke bawah, tetapi soal yang sekaligus teknis dan substantif: anggaran sudah disusun setahun, tapi dipangkas dalam sehari! Bagaimana tidak sehari? Bayangkan: kementerian dikasih waktu sekian hari, turun ke direktorat jenderal tinggal sekian hari, turun ke direktorat tinggal sekian hari, turun ke rektor tinggal dua hari, dan begitu sampai di ujung (fakultas), waktu yang tersisa? Besok malam revisi harus sudah jadi!

Pola "berubah dari sononya" ini terjadi di semua aspek. Tidak hanya waktu yang menyempit, tetapi duit juga! Kalau presiden bilang yang dipangkas hanya ini dan ini, bukan itu dan itu, di lapangan ya nggak bisa begitu! Ruang untuk berhitung semakin sempit. Anda tahu, tanpa dipotong pun anggaran satu universitas Islam negeri itu nggak ada seperlima anggaran satu PTN di kementerian sebelah. Jadi, bisa dibayangkan kalau masih dipangkas lagi!

Di level teknis, saya bisa kasih contoh bagaimana "efisiensi perjalanan dinas" (akun 525113) yang dikatakan menteri bisa berbeda total di lapangan. Presiden di Jakarta bilang anggaran KL habis untuk jalan-jalan PNS, maka perjadin harus dipangkas. Tapi mereka nggak mau tahu bahwa dalam akun 525113 ini banyak sekali anggaran yang bukan untuk "jalan-jalan"!

Misalnya, akun ini digunakan untuk membayar jasa narasumber. Kalau di KL seperti polisi atau tentara, mungkin memang nggak perlu banyak narasumber. Tapi di kampus? Anda ingin mahasiswa pintar dengan mengundang profesional dari luar? Anda ingin menghadirkan akademisi dari luar KL? Bayarnya pakai akun "perjadin" juga! Jadi kalau anggaran ini dipangkas, maka kuliah umum, kuliah tamu, visiting scholar — pasti terganggu!

Yang paling ngeri adalah kegiatan yang melibatkan pihak ketiga. Di fakultas kami, ada program sertifikasi pembimbing haji. Agar sesuai aturan akuntansi yang baik, kegiatan ini harus masuk di RKAKL kami. Nah, 85% anggarannya (yang berupa fullboard menginap di hotel untuk peserta) masuk akun 552113. Anda tahu, duit itu duit peserta, dibayar oleh peserta ke rekening kami sebagai biaya pendaftaran pelatihan, lalu digunakan untuk membayar hotel. Tak sepeser pun "perjadin" di situ terkait jalan-jalan PNS menghabiskan uang negara!

Sekarang, dengan anggaran yang tinggal 25% ini (Rp1,3 miliar), kami bisa apa? Wong untuk belanja rutin saja (gaji, tunjangan, asuransi dosen non-PNS dan LB, honorer, pemeliharaan, ATK) sudah mencekik sampai asam lambung naik. Paling jauh yang bisa kami selamatkan hanya kegiatan wajib seperti praktikum mahasiswa. Tidak akan ada lagi anggaran untuk reward mahasiswa berprestasi, tidak ada student mobility, hanya satu dua kegiatan untuk peningkatan kapasitas dosen.

Kata Opung, "Kalau ada yang bilang Indonesia Gelap, kau yang gelap..." Ya, benar dia. Opung nggak gelap, kita di dunia pendidikan yang gelap! 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama